Lihat ke Halaman Asli

Laurens Gafur

Peziarah kehidupan yang tak lelah mencari dan mendekap kebijaksanaan

Covid-19 dan Program "Belajar dari Rumah"

Diperbarui: 14 April 2020   16:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sampai hari ini, Selasa 14 April 2020, Covid 19 masih menghantui dunia, termasuk Indonesia. Berdasarkan informasi resmi dari pemerintah Indonesia sebagaimana tercantum pada laman Covid19, Senin 13 April 2020, ada 4.557 orang yang positif Covid 19 dengan rincian: 3778 dirawat, 380 yang sembuh dan 399 yang sudah meninggal dunia. 

Dengan demikian, ada peningkatan cukup besar jumlah orang yang positif Covid 19. Begitu juga dengan yang meninggal dunia. Yang menggembirakan adalah berita tentang pasien-pasien yang berhasil disembuhkan dan mereka bisa kembali ke rumah masing-masing. Di tengah situasi yang tak mudah ini, semua orang terus diminta dan diharapkan terus bekerja sama dalam segala aspek untuk mengatasi wabah ini.

Bukan rahasia lagi bahwa Covid 19 ini telah mengubah bahkan mengacaukan banyak hal. Segala aspek kehidupan manusia dikacaukan olehnya. Salah satu aspek penting yang dikacaukan oleh Covid 19 adalah sektor pendidikan formal. 

Saat ini saya secara khusus menulis artikel reflektif tentang efek Covid 19 pada sektor pendidikan formal tingkat dasar sampai menengah (SD-SMA/SMK), khususnya di NTT.

Anak-Anak Sekolah Dirumahkan

Berdasarkan instruksi Gubernur NTT, sejak 20 Maret 2020 lalu, anak-anak sekolah di NTT dirumahkan. Tak ada kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Pihak sekolah (para guru) wajib memberikan tugas kepada peserta didik agar dikerjakan di rumah. 

Anak-anak belajar di rumah. Nanti saat kembali ke sekolah, tugas-tugas tersebut dikumpulkan. Syukur kalau situasi memungkinkan, diadakan ‘Pembelajaran online’. 

“Pembelajaran online” maksudnya guru dan peserta didik berkomunikasi setiap hari tentang materi pelajaran tertentu melalui internet, bahkan bisa saling melihat wajah (video call). Akan tetapi, “Pembelajaran online” ini mengandaikan banyak hal, antara lain: ada listrik (PLN), HP, Laptop, pulsa/paket data internet dan sinyal HP-Internet.

Sayangnya di NTT masih banyak tempat yang tidak ada listrik (PLN) dan sinyal hp-internet. Memang, beberapa waktu lalu (03 April 2020) melalui laman facebooknya, Presiden Jokowi menulis bahwa ada lima desa di NTT yang belum berlistrik. Apa yang disampaikan bapak presiden ini keliru. Lebih tepatnya, bapak presiden mendapatkan informasi yang keliru dari anak buahnya di NTT. 

Kenyataannya, saat ini masih banyak desa di NTT yang belum berlistrik. Belum lagi tempat-tempat yang tidak memiliki sinyal HP dan internet. Tambah runyam lagi karena situasi kemiskinan yang tak memungkinkan orang tua menyiapkan HP, Pulsa, atau Laptop untuk anak-anaknya yang masih sekolah. Dengan demikian, ide “Pembelajaran online” ini sulit diterapkan di banyak tempat di NTT saat ini.

Tentang tantangan “Pembelajaran Online” ini, saya beri contoh tentang kondisi sekolah tempat saya mengabdi. Saya mengabdi di SMAK seminari St. Yohanes Paulus II-Labuan Bajo, kabupaten Manggarai Barat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline