Lihat ke Halaman Asli

Woro Januarti

Woro Januarti

DIALOK EKOLOGIS SI "BURUNG KAYU"《木鸟》的生态话语

Diperbarui: 16 Januari 2021   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ei, Saengrekerei-lah yang menamai anjing itu Sistem, sebagaimana teteu Taksilitoni menamai anjingnya yang telah lama mati sebagai Pemerintah.

(Burung Kayu, hal.76)

 

Inilah sepenggal kisah kehidupan di Mentawai yang diceritakan begitu indah oleh Niduparas Erlang. Cerita tentang damainya hutan dan lekuk-lekuk sungai di Mentawai membuat napas pembaca merasakan kesegaran alam yang jauh dari hiruk pikuk kota besar.

Novel bernapaskan kearifan lokal seperti “Burung Kayu” ini, seakan membawa ingatan saya pada novel “Baiat Cinta di Tanah Baduy” karya Uten Sutendy, “Jamangilak Tak Pernah Menangis” karya Martin Aleida dan novel-novel sejenis karya penulis Indonesia lainnya. Karya sastra seperti ini sejenak membuat para pembaca menoleh kembali akan kearifan lingkungan dan permasalahannya yang terjadi di bumi Indonesia. Juga, karya sastra seperti ini sejenak memberikan para pembaca pertanyaan yang begitu menusuk, sudah tepatkah modernitas ini?

Dialog Antara Adat Istiadat, Alam, dan Modernitas

Sekilas napas Antroposentrisme di dalam novel “Burung Kayu” ini telihat mencolok, seperti mengibaratkan “sagu-sagu yang tumbuh” sebagai Ibu, sebagai pemberi makanan dan penerus kehidupan. Juga mengibaratkan “lembah dan air sungai” sebagai Ayah, sebagai pemberi kekuatan dan perlindungan. Melalui metafor seperti ini memang sekilas mengibaratkan alam seperti manusia, manusia sebagai simbol kekuatan dan pusat semesta, tetapi jika dilihat arti ibu dan ayah di dalam novel Burung Kayu, rasanya Niduparas Erlang sudah melampaui pandangan yang melulu menganggap manusia adalah pusat semesta. Melalui ritual para tokoh, Niduparas memperlihatkan bahwa dunia para roh (dunia di luar manusia) yang merupakan bagian dari penghuni alam semesta, dapat dengan mudah dimasuki dan berdialog dengan manusia melalui para Sakerei. Oleh karena itu, spirit Niduparas sudah mencerminkan semangat penyatuan manusia dengan alam. Di dalam cerita, para penghuni Uma juga memberikan persembahan bagi roh-roh leluhur berupa makanan dan kuping kiri babi, juga persembahan bagi Ulaumanua yang dianggap seperti Tuhan terpenting dalam kehidupan adat mereka. Sungguh ini adalah suatu pandangan ekosentrisme, di mana manusia menganggap dirinya hanyalah bagian kecil dari semesta.

Semangat para penghuni Uma dalam pemeliharaan dan penghormatan kepada lingkungan juga terlihat dalam perburuan dan cara menangkap hewan “Ikan dan udang dianggap cukup untuk makan sekeluarga” (hal.44), dengan tidak melakukan penangkapan hewan besar-besaran. Serta tidak diperbolehkannya “Menyebut langsung ‘ingin pergi buru’” (Hal. 79) yang merupakan pesan penghormatan kepada alam, bahwa bukan manusia yang menguasai alam, bukan manusia yang memburu binatang, membunuh binatang, menguliti binatang. Manusia membunuh binatang dan makhluk lain sekadar untuk meneruskan rantai alam, meneruskan kehidupan.

Konflik muncul di saat kearifan lokal yang hidup dan dihidupi turun temurun di antara penghuni Uma harus berhadapan dengan kehidupan modern serta agama-agama luar yang masuk ke Uma . Jalan apakah yang harus dipilih? Tokoh Saengrekerei yang lahir dan besar dari rahim Uma, harus mengalami perang batin: meninggalkan adat istiadat yang dianggap sebagai kebodohan dan “cuma hantu-hantu” (Hal. 143), ataukah menerima modernitas yang dianggap  sebagai kehebatan. Dalam pergolakan batin itu, tokoh Saengrekerei memutuskan mengirim satu-satunya anak lelakinya yang bernama Legeumanai untuk bersekolah ke Tanah Minang. Dia memimpikan sosok Legeumanai yang berpendidikan kelak dapat menjadi marwah baru bagi Umanya, mengalahkan wibawa Uma lain dengan menjadikan Legeumanai dapat duduk bekerja di bangku pemerintahan. “Anak kami Legeumanai sudah bekerja di kantor pemerintah. Apakah anak-anak kalian cuma pisau yang patah? “(Hal. 120). 

Dialog Perempuan: Sebagai Korban ataukah Bentuk Kepatuhan?

Di dalam novel “Burung Kayu”, perempuan diceritakan sebagai sosok yang pasif karena “Segala keputusan tetap mesti diputuskankan oleh para lelaki”, “Sementara para perempuan, hanya boleh mengikuti segala keputusan keluarga suami” (Hal.97). Terlebih lagi, jika para perempuan di dalam suatu Uma menjadi janda, maka hak ekonomi, hak anak keturunan, hak pernikahannya kemudian, hingga hak namanya sendiri menjadi hilang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline