Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh WHO di 21 negara paling sedikit 7% - 36% wanita dan 3% - 29% laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual ketika mereka kecil. Itulah pernyataan getir yang terucap dari bibir Sri, seorang ibu berusia 32 tahun ketika mengetahui anak lelaki semata wayangnya yang baru kelas 5 SD mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh wali kelasnya sendiri. Kejadian itu terjadi di salah satu SDN di kawasan Surabaya, yang dikejutkan oleh kabar kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru pria terhadap 7 orang murid lelakinya. Kasus tindak kekerasan seksual yang telah berlangsung kurang lebih 2 tahun (tahun 2004 - tahun 2007) baru terungkap pada akhir bulan April 2007 setelah salah seorang penjaga kelas tidak sengaja melihat perbuatan guru dan melaporkan kejadian tersebut kepada guru lain (R, 42 tahun) yang menindaklanjuti lapor kasus tersebut ke kapolda sehingga pada akhir April 2007 turun surat perintah penahanan pelaku.
Walaupun selama ini terdapat asumsi bahwa kekerasan seksual lebih banyak dialami oleh wanita, akan tetapi Dube, (2005) menemukan bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada anak laki-laki justru memiliki porsi yang lebih banyak dan umum terjadi.
Kultur yang berlaku pada masyarakat telah membentuk suatu mitos sosial yang mengharapkan lelaki mampu mengontrol diri, tangguh dan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Selain itu masyarakat menilai kesuksesan seorang lelaki sebagai seorang heteroseksual, sebagai inisiator seksual, dan sebagai pelindung bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Sehingga apabila lelaki mengalami kekerasan seksual maka hal ini akan menjadi pertanyaan di lingkungan sosial, "Kamu kan lelaki. Kok bisa sampai diperkosa? Kan bisa melawan." Adapun beberapa mitos terkait kekerasan seksual pada lelaki yang seringkali salah kaprah pada masyarakat pada umumnya adalah : 1. Anak lelaki tidak mungkin menjadi korban kekerasan seksual, karena apabila mereka tidak menginginkannya mereka dapat melawan pelaku. Fakta : mitos ini berawal dari pandangan masyarakat tentang peran gender, yang merujuk pada masalah "image macho lelaki" dimana lelaki tidak boleh lemah apalagi menjadi korban kekerasan seksual. Selama ini budaya telah menganggap bahwa lelaki dapat melindungi diri mereka sendiri. Pada kenyataannya, anak dan remaja lelaki secara fisik dan emosional lebih rentan daripada pelaku. Hal ini disebabkan karena pelaku kekerasan seksual seringkali menggunakan kekuasaan untuk mengontrol korbannya. Pada beberapa kasus, ancaman fisik justru tidak terjadi, melainkan melalui media manipulasi seperti pemberian imbalan, penipuan, dan kekerasan secara tidak langsung yang juga menjadi bagian dari kekerasan seksual. Oleh karena itu kita harus paham bahwa terjadinya kekerasan seksual bukan hanya masalah "melawan balik". 2. Hampir sebagian besar kekerasan seksual yang terjadi pada anak lelaki dilakukan oleh pelaku homoseksual Fakta : pedofilia yang melakukan kekerasan seksual pada anak lelaki tidak berarti menunjukkan orientasi homoseksual, begitu juga dengan pedofilia yang melakukan kekerasan seksual pada anak perempuan. Apabila kita mampu mengenali perilaku kekerasan seksual sebagai tindakan yang didasari pada kekuatan dan kekuasaan, yang tujuan akhirnya adalah untuk menyakiti, merendahkan, mempermalukan, dan membuat korbannya merasa tidak berdaya, maka kita akan mengetahui bahwa kecenderungan atau orientasi seksual sedikit sekali berhubungan dengan masalah ini. Menyakiti seseorang dengan melakukan kekerasan seksual akan membuat pelaku merasa memiliki kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar daripada korbannya. Hampir sebagian besar pelaku kekerasan seksual mengidentifikasikan diri mereka sebagai heteroseksual. 3. Apabila anak lelaki mengalami orgasme pada saat mengalami kekerasan seksual, berarti ia bergairah ketika diperlakukan demikian. Fakta : pada kenyataannya lelaki dapat bereaksi secara fisik (mengalami ereksi) ketika memperoleh rangsangan, bahkan dalam situasi traumatis dan menyakitkan sekalipun. Terapis yang mengangani pelaku kekerasan seksual mengetahui bahwa salah satu cara pelaku merahasiakan perbuatannya adalah dengan mengatakan bahwa respon fisiologis korban merupakan indikasi bahwa korban bergairah diperlakukan demikian. Pelaku pada umumnya akan mengatakan "kamu menyukainya", "kamu menginginkannya". Hal ini membuat beberapa korban kekerasan seksual akan merasa malu dan merasa bersalah dengan pengalaman fisik mereka saat mengalami kekerasan seksual. Stimulasi fisik seringkali terjadi dalam kekerasan seksual, akan tetapi tidak berarti korban menginginkan pengalaman atau memahami apa yang terjadi pada saat itu. 4. Adanya "sindrom vampir", yaitu ketika anak lelaki mengalami kekerasan seksual maka ia akan melakukan kekerasan seksual pada anak lain. Fakta : mitos yang beredar ini paling berbahaya karena akan memnimbulkan stigma negatif pada diri anak bahwa pada akhirnya ia akan ditakdirkan untuk menjadi pelaku di kemudian hari. Apabila korban kekerasan seksual lelaki, maka terkadang ia dipandang sebagai seseorang yang memiliki potensi untuk menjadi pelaku di kemudian hari, bukan sebagai korban yang membutuhkan bantuan dan dukungan. Beberapa pelaku kekerasan seksual memang memiliki sejarah mengalami kekerasan seksual ketika mereka kecil, akan tetapi tidak benar bahwa sebagian besar korban akan menjadi pelaku. Penelitian yang dilakukan oleh Jane Gilgun, Judith Becker dan John Hunter menemukan adanya perbedaan utama antara pelaku yang mengalami kekerasan seksual dan pelaku yang tidak mengalami kekerasan seksual : pelaku yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual mengatakan bahwa mereka pernah mengalami kekerasan seksual sehingga orang akan mempercayai bahwa dirinya sebenarnya adalah korban sehingga akan memperoleh simpati dari orang lain. 5. Lelaki yang mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku pria akan menjadi homoseksual Fakta : beberapa anak lelaki yang mengalami kekerasan seksual dengan pelaku lelaki mempercayai bahwa secara seksual ada bagian dalam diri mereka yang tertarik dengan lelaki, dan hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah homoseksual atau bersfat seperti wanita. Oleh karena ini beberapa korban kekerasan seksual dengan pelaku lelaki menghabiskan sebagian besar waktu mereka dalam kebingungan dalam menentukan identitas seksual, orientasi seksual dan bagaimana penilaian lingkungan terhadap dirinya. Pelaku kekerasan seksual tidak mampu mengembangkan dan menjaga relasi seksualitas dengan lawan jenisnya sehingga mereka membutuhkan adanya pengakuan dengan bentuk menguasai dan mengontrol orang lain, terlepas dari fakta apakah korbannya homoseksual. Sebagai tambahan, tidak ada seseorang yang dapat membuat orang lain menjadi homoseksual ataupun heteroseksual. Walau demikian kekerasan seksual yang dilakukan oleh sesama jenis dapat menyebabkan terjadinya kesalahan persepsi pada anak dan akan membuatnya terus mempertanyakan identitas seksualnya; suatu contoh dampak panjang kekerasan seksual secara emosional. 6. Apabila pelaku berjenis kelamin wanita, maka anak lelaki ataupun remaja yang mengalaminya seharusnya merasa beruntung. Fakta : menjadi objek kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang lain, baik itu lelaki maupun wanita, selalu menyakitkan dan merusak. "Kamu tidak dapat memperkosa orang yang menginginkannya". Mitos lain ini secara tidak langsung menyatakan bahwa anak lelaki dan pria selalu tertarik dengan segala aktivitas seksual, dan tidak memiliki batasan dalam masalah seksualitas. Budaya masyarakat juga menekankan bahwa lelaki tertarik dengan aktivitas seksual, kapanpun dan dimanapun sehingga lelaki diharapkan memenuhi standar ini. Apabila lelaki atau anak lelaki tidak menginginkan seks, terutama dari wanita dewasa, maka kemungkinan besar mereka tidak sempurna. Pada kenyataannya seks yang dilakukan secara terpaksa dan sebelum waktunya, baik oleh ibu, tante, saudara perempuan, maupun perempuan lain yang menjadi figur otoritas dapat menyebabkan kebingungan dalam diri anak dan membawa dampak dendam, depresi dan masalah lain di kemudian hari. Note : Kekerasan seksual bukanlah sekedar wacana tentang peristiwa traumatis semata, akan tetapi peristiwa yang mampu mengguncang kehidupan seorang anak hingga mampu merubah cara pandang anak terhadap dunia. Tulisan ini dibuat oleh penulis saat menjadi relawan di salah satu children crisis center untuk membantu melakukan pendampingan korban kekerasan seksual. Tulisan ini sebagai sarana psikoedukasi, terutama pada korban lelaki karena sering terjadi "salah kaprah" berkaitan dengan kekerasan seksual yang dialami. Sehingga korban yang telah trauma justru memperoleh trauma tambahan karena adanya penilaian yang salah dari masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H