Lihat ke Halaman Asli

Malin Kundang dan Riwayat Perantau

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini hanya sebuah refleksi dan gelisah perjalanan yang mungkin semua, atau mungkin hanya diri saya semata menjalaninya. Sebuah perjalanan rantua yang melelahkan. Baiklah, saya sangat tertarik dengan kisah Malin Kundang, perantau durhaka sama ibunya. Tentu sebagai perantau kita tak ingin mendapatkan predikat “kacang lupa kulitnya.” Secara personal saya punya persepsi perihal legenda Malin Kundang.

Bagi saya, kisah teladan dan hikmah semacam itu hanyalah obat penyejuk optimisme jiwa manusia untuk dijadikan gertakan bagi anaknya (yang berpotensi mematikan kreatifitas). Walau tidak sepenuhnya. Hikayat lahir untuk menjadi pelajaran agar kita selalu berada di jalur “benar”. Benar menurut siapa? kenapa kebenaran harus menjadi ukuran dalam setiap tindakan manusia?

Kebenaran merupakan sebuah misteri kehidupan yang Tuhan sendiri “egois” untuk memberikannya pada manusia. Ya, manusia terlanjur diberikan sedikit pengetahuan untuk menjangkau kebenaran itu. Entah, apakah karena Tuhan tidak rela ataukah memang sudah kadar kemampuan manusia yang demikian? Yang jelas manusia memang terbatas dan diatas yang terbatas ada yang tidak terbatas, TUHAN.

Malin Kundang adalah sebuah kebenaran sekaligus misteri. Ia lahir dari sebuah keanehan sejarah, maka ia berusaha menjadi penghianat zaman. Dia aib dari sebuah sejarah dan legenda. Ia sekaligus menjadi awal sebuah sejarah manusia. Sejarah baru dimulai dari legendanya. Maka ia pun menjadi literer jurus andalan manusia untuk menggertak anak yang baru dilahirkan dari rahim sejarah yang berbeda dengannya. Malin kundang menjadi senjata bagi mereka yang berusaha bertindak kreatif. Jusitikasi atas Malin Kundang telah berhasil memasung kreatifitas dalam belantara tanya yang tak kunjung menemukan jawaban; “”durhakakah saya?

“Aku akan sangat durhaka jika tidak ku temukan surga di bawah kaki mu ibu”. Begitu salah seorang penyair Arab memulai syairnya. Malin Kundang yang terlanjur tidak menemukan surga dibawah kaki ibunya menjadi batu menhir yang sacral. Malin Kundang telah menemukan surga di balik tongkat yang diberikan ibunya ke rantau dan dia menemukan kebahagian disamping istrinya. Maka buat apa “surga” itu kalau dia lebih dulu menemukan surganya dari punya ibunya. Bukankah Malin Kundang telah sejak kecil menemukan surganya. Karena surga pada hakikatnya adalah kebahagiaan. Maka ketika Malin bahagia dengan kekayaannya bukankah itu sebuah cipratan surga. Lalu berdosakah dia ketika tidak “mengakui surga” yang ada di bawah kaki ibuya.

Kebahagiaan dan kesengsaraan, surga dan neraka adalah dua entitas yang tidak akan pernah bersatu dalam satu wadah. Bagai api dan air kalau bersatu tidak akan terjadi apa-apa. Ketika Malin Kundang bahagia dengan kekayaan dan sengsara dengan kedurhakaannya, maka sakralitas batu itu adalah saksi bisu diantara berbagai macam gelombang kehidupan yang akan senantiasa menerpa manusia dari segala penjuru.

Cukup Malin Kundang yang menyimpan batu sakral itu, cukup Malin saja yang menerima tongkat pusaka dari ibunya. Malin Kundang adalah wajah seribu manusia yang ada di Minangkabau, sekaligus sejuta wajah manusia di segala penjuru. Dia adalah ikon peradaban sebuah anak manusia yang harus “dibuang” ibunya, lantaran tradisi dan budaya yang mengaharuskannya pergi jauh (baca: merantau) dari ibunya yang rentan dan miskin.

Kubangan yang pernah ibunya siapkan untuk Malin sekarang menjadi jurang dalam dan curam, rumahnya pun menjadi sarang laba-laba, cicak, ular, dan hantu. Betapa saya tahu kalau ibu Malin itu pernah menangis lantaran kabar angin yang pernah memerihkan, dia menangis. Lalu kenapa saya hanya bisa merasakan waktu dia sedih, untuk selanjutnya tidak. Padahal obatnya ada padaku dan Malin kundang yang saat ini sedang berevolusi.

Kenapa setelah kepergianku yang begitu jauh dari ibu dan perjuangannya yang begitu berat, saya baru merasa kalau ibu sangat sengsara. Dia ikut berjuang dalam rantau yang saya jalani saat ini, seperti ibu Malin yang ikut merantau mencari kebahagiaan keluarganya. Malin merantau untuk mencari kekayaan dengan tuntutan sebuah tradisi rantau yang berlaku di daerahnya. Tetapi saya merantau untuk merubah tatanan kehidupan yang lain dari Malin kundang.

Saya mencari sebuah peradaban yang hilang dari kampung, sebuah sejarah yang tidak pernah dicatat oleh anak negerinya, sebuah kehidupan yang tidak pernah dijalani orang kampung, sehingga saya harus berjalan dalam keterasingan yang pekat dan kesunyian yang dalam. Walau saya tahu keterasingan dan kesunyian hanyalah fatamorgana yang tidak pernah ada, tetapi nyata terjadi. Saya benar-benar terasing, ibu benar-benar berjuang dua kali lipat dari yang saya jalani karena dia harus menjalani dua kehidupan sekaligus, kehidupanku dan kehidupannya.

Benar-benar sebuah perjuangan tiada henti untuk memperjuangkan nasib sebuah perubahan. Ibuku mengharapkan kehidupan yang berbeda, cukup ibu dan saudara saya yang menjalaninya. Kehidupan dalam himpitan sejarah kelam yang tidak terjamah orang sebelumku. Ibuku merasa sangat berat melapasku, sama seperti ibu Malin Kundang yang membiarkan Malin berkelana atau bahkan beratnya melebihi, karena tidak ada yang dapat ia berikan kecuali segenggam doa. Tekad mungkin harus selalu berbarengan dengan nekad dan nekad harus beriringan dengan doa. Ibuku adalah orang terbaik yang ada di dunia ini. Karena tidak semua orang seperti ibu yang melapas saya dengan sutera doanya, banyak teman yang harus kehilangan kehidupannya lantaran ibunya atau orang tuanya tidak bisa melepasnya.

Saya melenggang di rantau. Saya dan ibu berjalan diantara onak dan duri. Diantara gelombang pasang-surut kehidupan. Kalau hidup itu memang sebuah perjalanan sejarah, maka itu harus saya lakukan karena saya lahir dari rahim sejarah orang tuaku. Mau tidak mau saya harus merubah sebuah legenda kedurhakaan itu menjadi sebuah kecintaan dan catatan hitam menjadi catatan putih. Saya dan ibu, Malin dan ibunya adalah gambaran kehidupan yang berbeda, sejarah yang berbeda dan jaman yang berbeda pula.

Twitter ; _jdPutra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline