Saya percaya, sebagian besar rekan Kompasianers yang tinggal di luar negeri pasti sependapat bahwa berada jauh di negeri orang membuat rasa rindu pada tanah air sering menyeruak. Terutama di bulan Agustus, saat bangsa kita merayakan ulang tahun kemerdekaannya. Ribuan kilometer jarak yang membentang memisahkan dari tanah air, pada momen-momen seperti ini membuat kerinduan itu makin membuncah dan tak jarang menyebabkan perasaan jadi mengharu biru. Kumandang "Indonesia Raya" yang mengiringi pengibaran Sang Merah Putih sanggup membuat mata berkaca-kaca. Layaknya di berbagai kota di manca negara, masyarakat Indonesia di Paris dan sekitarnya (yang dalam hitungan jumlah relatif sedikit dibanding di Inggris, Jerman, apalagi Belanda) juga berkumpul di Wisma Duta untuk merayakan Peringatan 65 Tahun Kemerdekaan Indonesia. Berbeda dari kota-kota lainnya di Eropa, tahun ini ada yang berbeda dalam Perayaan Detik-detik Proklamasi di Paris. Sesuatu yang langka dan istimewa. Meriahnya 17-an Tahun Ini Wisma Duta sesungguhnya berlokasi di Neuilly-sur-Seine, kota kecil yang berbatasan dengan 17th Arrondissement Paris, di mana Nicolas Sarkozy pernah menjabat sebagai Walikota sebelum menjadi Menteri Dalam Negeri Perancis dan akhirnya menduduki kursi Presiden. Namun tahun ini, suasana perayaan 17-an jadi agak mirip dengan di Istana Merdeka. Hehe... [caption id="attachment_233355" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: detik.com"][/caption] Adalah kehadiran 51 orang prajurit, para pelaut awak KRI Dewa Ruci yang menjadi sumber meriahnya suasana. Di bawah pimpinan Letkol Suharto, Sang Komandan, beberapa Perwira serta para Taruna alias Kadet Kapal Latih TNI AL ini ikut menjadi peserta upacara, berseragam lengkap, berbaur bersama barisan masyarakat Indonesia di halaman Wisma. Sebagian bahkan berpartisipasi sebagai Petugas Upacara, mulai dari Pemimpin Upacara, Pasukan Pengibar Bendera, sampai musik pengiring. Selain mengiringi lagu "Indonesia Raya", "Mengheningkan Cipta", serta "Andhika Bhayangkari", kelompong Marching Band 'Gita Jala Taruna' bersama anak-anak dan remaja Indonesia di Paris juga mempersembahkan beberapa lagu perjuangan dalam aubade pagi itu. [caption id="attachment_233404" align="aligncenter" width="411" caption="Photo by Anita Destyati"][/caption] [caption id="attachment_233360" align="aligncenter" width="352" caption="Penampilan 'Gita Jala Taruna' bersama anak-anak dalam Aubade (dok. pribadi)"][/caption] Gemuruh suara tambur ditingkahi bunyi trompet dan saxophone serta dentingan xylophone yang melagukan melodi "Garuda Pancasila", "Hari Merdeka", juga "Bengawan Solo" dan "Manuk Dadali" sejenak membuat saya sempat merasa seperti sedang berada di tanah air sendiri, bukan nun jauh di negeri orang begini. Hiks... Kehadiran rombongan awak KRI Dewa Ruci itu memiliki makna tersendiri, karena baru pertama kali warga negara kita di Paris dapat menyaksikan atraksi para Pengawal Samudera Nusantara ini. Tak heran jika banyak yang memanfaatkan kesempatan untuk diabadikan bersama para Taruna. Kostum unik dengan tutup kepala berbentuk ikan hiu dan singa laut yang dikenakan oleh beberapa Kadet anggota Marching Band menjadi tontonan menarik khususnya bagi anak-anak. Perbincangan dengan warga pun terjadi di sana sini. Dan di akhir lawatan, sebelum pamit mereka sempat membawakan beberapa lagu disertai gerak-gerik unik khas prajurit. [caption id="attachment_233364" align="aligncenter" width="381" caption="dok. pribadi"][/caption] [caption id="attachment_233366" align="aligncenter" width="467" caption="dok. pribadi"][/caption] Pelayaran Penuh Misi dan Prestasi [caption id="attachment_233374" align="alignleft" width="225" caption="KRI Dewa Ruci di Cherbourg, Perancis (dok. pribadi)"][/caption] KRI Dewa Ruci memang sedang dalam perjalanannya berlayar mengelilingi dunia seperti biasa dilakukan setiap tahun. Tahun ini pelayaran mereka berlangsung selama 9 bulan - dari Maret sampai November - mulai dari pangkalannya di Surabaya mengelilingi separuh belahan dunia. Dan kami warga Indonesia di Perancis sungguh beruntung, karena tanggal 14-17 Agustus kapal layar terbesar yang dimiliki TNI AL ini kebetulan sedang merapat di Cherbourg, kota pelabuhan di ujung Barat Laut Perancis, di tepi Selat Inggris (English Channel), sehingga tepat tanggal 17 Agustus mereka dapat bergabung dalam Perayaan 17-an di Paris, sebelum melanjutkan pelayarannya ke Belanda. KRI Dewa Ruci bisa dibilang merupakan 'kawah candradimuka' bagi para Kadet. Geladak kapal, buritan, tiang-tiang layar, kamar mesin dan kemudi adalah ruang-ruang kelas di mana mereka ditempa secara fisik maupun mental. Samudera raya menjadi laboratorium tempat mempraktekkan ilmu-ilmu pelayaran dan perbintangan, bahkan seni mempertahankan diri dari para perompak yang merajai lautan. [caption id="attachment_233377" align="aligncenter" width="375" caption="dok. pribadi"][/caption] Dan semua kerja keras itu tidak sia-sia. Torehan berbagai prestasi yang berhasil mereka catat dalam paruh pertama pelayaran 2010 ini menjadi bukti nyata. Telah berderet penghargaan yang sukses diraih, antara lain pada 'Tall Ship Races 2010' di Belgia dan Inggris, serta 'The Historical Seas Regatta 2010' di Yunani (berita di sini, di sini dan di sini). Masih ada lagi sejumlah kompetisi yang akan mereka ikuti di Belanda, Jerman, dan Italia. Bersama kita doakan agar yang terbaik dapat diupayakan. Namun yang lebih membanggakan menurut saya adalah bahwa dalam muhibah ke manca negara, para awak KRI Dewa Ruci ini sekaligus berperan sebagai Duta Budaya Bangsa. Seperti yang sempat saya saksikan sendiri saat kapal berlabuh di Cherbourg pekan lalu. Di depan para tamu dari kalangan Angkatan Laut Perancis dan warga setempat, mereka mempersembahkan berbagai tarian daerah seperti Tari Rantak (Sumbar), Tari Perang (Papua), Reog Ponorogo (Jatim), serta Rampak Gendang (Jabar) yang sangat dinamis, dikolaborasikan dengan musik modern dari alat tiup (brass section). [caption id="attachment_233390" align="aligncenter" width="348" caption="Photo by Anita Destyati"][/caption] [caption id="attachment_233395" align="aligncenter" width="340" caption="dok. pribadi"][/caption] [caption id="attachment_233397" align="alignright" width="230" caption="dok. pribadi"][/caption] Keragaman Indonesia yang tergambar jelas dari penampilan budaya ini memang tak tertandingi. Setiap hari selama kapal sedang menurunkan jangkarnya, diadakan 'open ship' yang memberi kesempatan bagi siapa saja untuk naik ke kapal. Dan nuansa Indonesia memang sangat kental di sana. Tiang layar utama berhias motif Asmat dan ukiran-ukiran tradisional di depan Ruang Nakhoda, misalnya, cukup mampu menjadi representasi Nusantara. Sebagai Duta Bangsa, kehadiran KRI Dewa Ruci di negerinya Napoleon tahun ini juga menandai 60 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Perancis. [caption id="attachment_233407" align="aligncenter" width="428" caption="Photo by Anita Destyati"][/caption] Saksi Sejarah [caption id="attachment_233399" align="alignleft" width="201" caption="dok. pribadi"][/caption] Sebuah pelat dari logam berukir huruf-huruf "H.C. Stolcken Sohn, Hamburg, 1953" menjadi saksi bahwa 'Dewa Ruci' sudah tak lagi belia. Sepanjang 57 tahun usianya, kapal layar yang diproduksi di Jerman dan pertama kali dilayarkan pada tanggal 24 Januari 1953 ini telah kenyang melayari Perairan Nusantara maupun Internasional. Tak terhitung jumlah perwira yang lahir dari tempaan di dalamnya. Entah berapa lama lagi ia masih sanggup menunaikan tugas sebagai outdoor classrooms bagi para Kadet. Yang jelas, nilai historis yang dikandungnya tak terkira. Saksi sejarah kiprah anak negeri di perairan dunia. Jasanya bagi bangsa Indonesia luar biasa. Bagi saya pribadi, ini untuk kedua kalinya saya berkesempatan menginjakkan kaki di atas geladak berlantai kayu itu. Bertahun-tahun yang lalu, jauh di Ambon sana, pertama kali saya bersua dengan 'Dewa Ruci' dan para Tarunanya. Bahkan bersama teman-teman anggota Marching Band Pelajar, sempat mengiringi 'Gita Jala Taruna' berparade keliling kota. Tak terasa lebih dari 20 tahun telah berlalu. Sudah pasti jauh lebih banyak kenangan yang terukir dalam benak pribadi-pribadi yang selama berbulan-bulan menjalani hari-harinya di sana. Tentu ada banyak tawa dan tangis, suka duka yang mewarnai pelayaran mereka. Seperti sebuah kisah menarik dalam pelayaran kali ini. Menurut Letkol Suharto, selama hampir 6 bulan berlayar, sudah 7 bayi yang lahir di Indonesia sementara para ayahnya tengah berjuang di tengah lautan, membawa harum nama bangsa. Uniknya, ketujuh bayi itu semuanya perempuan. Berkah 'Dewa Ruci', katanya. Mudah-mudahan perjalanan mereka selanjutnya tetap penuh berkah, menuai lebih banyak prestasi, menjadi Duta Bangsa dalam mengharumkan nama Indonesia. Dirgahayu Negeriku Tercinta ! Jalesveva Jayamahe !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H