Lihat ke Halaman Asli

Mainanmu Ori atau KW?

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.watchcartoononline.com

Kejadiannya sudah cukup lama, tetapi masih membuat jengkel jika mengingatnya. Saya pernah dikomplain ibu dari teman anak saya di TK, gara-gara sebuah mainan Lego. Awalnya pesan melalui bbm itu menanyakan tentang mainan Lego Ninjago milik anaknya yang katanya dipinjam anak saya. [caption id="" align="aligncenter" width="526" caption="www.watchcartoononline.com"][/caption] Jadi ceritanya begini, anak saya bercerita pada temannya bahwa dia memiliki Lego Chima. Nah si teman ini ternyata mengoleksi bermacam-macam Lego minifigures. Masalahnya, Lego yang biasa dibeli anak saya hanya Lego KW yang biasa dijual di booth kaki lima seharga 15 -20 ribuan. Mendengar anak saya punya Lego Chima, si teman ini ingin sekali saling bertukar meminjam, dan itu dilakukan dengan mendatangi rumah saya dengan diantar ibunya. Ternyata setelah dibandingkan dengan yang ada di You Tube, ketahuan mainan anak saya ini palsu, dan itupun juga karena sudah kelihatan rusak. Ketika esoknya temannya meminta kembali Lego Ninjago nya, anak saya mengatakan tidak membawanya. Si ibu melabrak saya, karena menganggap anak saya tidak mau mengembalikan mainan anaknya. Ketika saya menjelaskan bahwa bukan tidak ingin mengembalikan tetapi memang mainannya jatuh di mobil jemputan dan hilang (anda bisa membayangkan, ukuran lego minifigure itu kurang lebih  seukuran dua ruas jari telunjuk), tuduhan terhadap anak saya meningkat menjadi pembohong, karena sebelumnya anak saya mengatakan tidak membawa, tetapi justru jatuh di mobil jemputan (diketahui setelah saya meminta pak Sopir membantu mencari dan akhirnya hanya menemukan pedang supermini di jok mobilnya). Saya akhirnya ikut terpancing dan tersinggung. Akhirnya saya bertanya, berapa harga Lego nya, karena saya berniat akan menggantinya. Awalnya si Ibu menolak dengan alasan ini bukan soal harga tetapi tentang tanggungjawab dan bagaimana susahnya mendapatkan Lego ini.  Saya hanya mengatakan saya tidak suka anak saya dijelek-jelekkan tetapi dari tadi tidak muncul satu solusi. Lalu dia menjelaskan Lego itu dibeli satu set dengan harga 350.000. Belinya lewat bidding di ebay.com. Sepertinya si Ibu ini juga tersinggung dengan pertanyaan saya, dan semakin menjelek-jelekkan anak saya, yang tidak seperti anaknya yang sudah bisa merawat mainannya dan selalu memberi mainan yang masih bagus, bukan yang sudah patah-patah dan jelek seperti yang sudah dilakukan anak saya Tidak cukup dengan hal itu, si Ibu juga menyinggung bahwa anak saya itu ketika bermain ke rumahnya tidak membereskan kembali mainannya. Sampai disini saya sudah mulai terpancing untuk marah. Saya mengatakan bahwa si Ibu ini kok sangat demanding pada anak yang belum genap berusia 6 tahun. Lantas jawabnya, " tidak perlu menunggu anak SMA untuk mengajarkan disiplin". Dia juga menambahkan dengan menyindir posisi saya yang seorang Ibu bekerja. Katanya, makanya anak itu harus didampingi. Saya masih simpan seluruh chat bbm dengannya. Waktu itu saya mencoba mencari pendapat yang lebih obyektif terhadap kasus saya. Pilihan jatuh ke salah satu ibu teman anak saya yang lain yang kebetulan juga bekerja dan anak pertamanya sudah di bangku SMP. Saya menganggap beliau jauh lebih bijaksana dan tidak mudah terpancing emosi. Jadi saya teruskan chat bbm ini ke emailnya. Saya bertanya tentang apakah saya salah tidak membelikan mainan yang ORI (baca mahal) pada anak sehingga sepertinya sifat "posesif" (merawat dan menjaga) terhadap mainan belum tumbuh. Apakah ibu bekerja itu selalu dianggap gagal mendidik anak. Apakah anak di usia belum genap 6 tahun yang masih belum bisa membereskan dan merawat  mainannya, serta hanya memberi mainan yang jelek dan patah-patah lantas sudah dianggap gagalnya orang tua mendidik. Dari diskusi panjang via bbm itu saya menjadi lebih tenang. Pertama , saya merasa tidak lagi menjadi seorang Ibu yang gagal. Saya sudah melihat bagaimana anak saya ikut bersusah payah mencari mainan Lego pengganti dari satu toko ke toko lainnya (Toys City,Toys Kingdom, Gramedia). Ketika sudah tak menemukan karena Ninjago adalah koleksi lama, anak saya sempat mengusulkan untuk membeli di booth langganannya. Ketika saya mengatakan bahwa Lego yang dipinjamnya ORI, anak saya sempat kebingungan dan bertanya ORI itu artinya apa. Saya terharu, ternyata anak saya ini belum membeda-bedakan mainan . Baginya mainan ya hanya sekedar untuk bersenang-senang. Seperti yang selalu saya yakini, setiap anak mempunyai masanya sendiri, justru orang tua yang kerdil yang suka membandingkan keunggulan anak yang satu dengan anak yang lainnya. Kedua, tentang mainan yang ORI dan mahal, justru itu membuat anak menjadi mengkotak-kotakkan dan menjadi kehilangan esensi sejati tentang fungsi mainan itu sendiri. Terbukti, cara anak saya memperlakukan mainan Lego hasil membeli via ebay.com dan tanpa bidding (baca: bidding di ebay=lebih murah hehehe) ternyata tidak ada bedanya dengan mainan yang dibeli di booth-booth kaki lima. Justru saya yang  sering was-was. Nah loh, yang menjadi lebih posesif adalah orang tuanya yang sudah membelanjakan uangnya. Sepertinya juga berlaku benar, bahwa yang ingin menjaga gengsi "prestige" itu orang tua dengan menerapkan hal yang sama kepada anak. Hanya seharusnya jika menganggap mainan mahal itu hal biasa tentunya tingkat posesifnya juga rendah :) Jadi mungkin cerita ini bisa menjadi pesan untuk semua orang tua, tetapi memang semua kembali kepada preference masing-masing tentang pilihan menjatuhkan pada mainan yang ORI dan mahal. Dengan segala konsekuensinya. Yang jelas dari kasus ini, sebagai seorang Ibu, saya tidak pernah kehilangan kepercayaan diri, bahwa saya juga mempunyai peluang yang sama untuk mengantar anak saya menjadi seseorang yang sama baiknya dengan anak-anak lain yang Ibunya di rumah :) salam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline