Lihat ke Halaman Asli

Saya Ibu Bekerja, Kurang Setuju Rencana Pengurangan Jam Kerja bagi Pegawai Perempuan

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14170887941986953316

[caption id="attachment_378686" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi (mommytobe.nl)"][/caption]

Usulan Wapres Jusuf Kalla tentang pengurangan jam kerja bagi pegawai perempuan selama dua jam seharusnya merupakan hal yang menggembirakan. (Baca beritanya disini)

Gagasan ini muncul atas dasar kekhawatiran Wapres mengenai nasib generasi muda ke depannya. Alasan pengurangan jam kerja ini karena menurut beliau, Wanita itu punya kewajiban untuk menyiapkan anak bangsa ke depan dan perempuan bisa punya waktu lebih untuk mendidik anak.

Tetapi saya memandangnya berbeda. Justru gagasan ini akan menjadi bumerang bagi perempuan. Terutama bagi mereka yang bekerja di sektor swasta (seperti saya).

Dari dulu isu perempuan bekerja (lebih tepatnya Ibu yang memilih untuk tetap bekerja) memang selalu menjadi pro dan kontra. Karena dikaitkan dengan peran besar Ibu sebagai seorang pendidik bagi anak-anaknya. Waktu tentu saja menjadi terbatas dengan komitmen bekerja.

Saya sendiri (yang didukung suami) mengapa memilih tetap bekerja, karena di keluarga kami memandang laki-laki dan perempuan, ayah dan ibu mempunyai tanggung jawab yang sama besar terhadap masa depan anak termasuk dalam hal mendidik dan mengasuh. Bukan sekedar pembagian tugas semacam, ayah mencari nafkah untuk membayar biaya hidup, ibu di rumah melakukan urusan domestik dan mendidik. Sehingga jika perempuan bekerja sering dilabeli dengan multi perannya (peran ganda). Multi peran itu seharusnya (bagi saya) berlaku untuk laki-laki dan perempuan yang menikah, mempunyai anak dan bekerja baik bekerja kantoran maupun bekerja rumahan. Atau bisa juga berkarier dan berumahtangga seharusnya dilihat sebagai single role. Keduanya adalah anugerah yang saling melengkapi dan membuat wanita sebagai pribadi yang utuh.

Soal waktu pula, saya juga menganut paham quality is better than quantity. Saya dan suami percaya ada cara untuk tetap membonding anak dengan memanfaatkan quality time.Siapa saja boleh menghakimi dengan apa yang saya yakini ini. Toh seperti apa kelak anak saya nanti, itu menjadi tanggung jawab saya dan suami bukan urusan orang-orang yang sibuk menghakimi :)

Jika memang pemerintah konsisten ingin mewujudkan generasi masa depan yang baik melalui keluarga seharusnya pengurangan jam kerja ini tidak hanya dilakukan  untuk karyawan perempuan. Hak yang sama seharusnya juga diterima oleh karyawan laki-laki.

Sekolah tempat anak saya belajar pernah mengagendakan acara One Day With Daddy. Tujuan acara ini tentu saja untuk membangun hubungan ayah dan anak lebih dekat dan menanamkan kebersamaan itu dalam memori anak-anak. Pihak sekolah pun "memaksa" para ayah untuk bisa mengajukan cuti jauh-jauh hari demi acara ini, karena dilaksanakan di hari sekolah (hari kerja).

Jika orientasinya adalah waktu, saya lebih setuju solusi yang dilakukan adalah dengan memperbaiki infrastruktur transportasi publik dan mengurangi kemacetan. Terutama bagi yang bekerja di Ibukota (kota besar).

Seharusnya bukan waktu jam kerja yang bisa dikurangi melainkan travel time, waktu perjalanan yang bisa ditekan lebih pendek untuk para Ibu bekerja ini. Dua jam akan menjadi sia-sia jika jalanan tetap macet, KRL datang terlambat atau tiba-tiba gangguan dan dibatalkan, jadwal yang tidak setiap 10 menit ada, serta menunggu busway yang jika dihitung rata-rata 30 menit (bahkan lebih untuk beberapa koridor). Berapa total waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan dengan kondisi ini? Dua jam itu tidak ada artinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline