Lihat ke Halaman Asli

Uneg Uneg tentang Kasus Florence

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(rencananya tadi mau jadi surat terbuka tapi… sudahlah)

Sampai juga saya di titik merasa sangat terganggu sehingga harus menuangkan segala yang mengganjal dipikiran ke dalam tulisan, mengenai kasus yang infamous: Florence Sihombing.  Tidak usah ditanya saya bela siapa, semua orang yang punya akal sehat juga tahu bahwa apa yang dilakukan oleh Florence adalah bodoh dan ignorant. Buat saya sendiri awalnya sangat menggangu kelakuannya dia, tapi lama-lama yang lebih menggangu adalah arogansi orang-orang yang merasa bisa melakukan apa saja untuk menghukum orang lain atas kesalahan yang manusiawi. Saya sadar benar kok, tulisan saya ini bisa saja dianggap bias oleh beberapa orang karena saya juga Batak, yang tinggal di atas tanah Betawi dan sangat menyukai berpetualang ke seluruh kota di pulau Jawa, bahkan melebihi banyak kota di pulau Sumatra, silahkan saja kalau ada pertanyaan langsung di komen.

Dari awal, saya rasa inti dari insiden Florence bukanlah mengenai kota Yogya yang tidak pantas untuk dihidupi, inti dari insiden itu adalah kebodohan Florence (dan SANGAT BANYAK rakyat Indonesia) yang tidak sanggup mengantri dengan sabar. Di hari yang sama dengan berita Florence saya menuliskan keluhan di status saya mengenai ibu-ibu yang memakai perhiasan dan tas super mahal namun seenaknya menyelak antrian. Nah sama kelakuan Florence dan Ibu-ibu kaya itu. Namun seperti biasa, bukannya menjadikan ini sebagai pelajaran buat kita semua agar lebih sabar ketika mengantri, alih-alih kita focus pada isu SARA yang memang dilemparkan Florence secara –sekali lagi – bodoh, dan ditangkap dengan cepat dan cekatan oleh orang-orang yang memang senang memandang segala sesuatu dari satu sisi saja.

Saya akan menggunakan kata kita terus, karena ketika pertama kali berita mengenai caci maki Florence merebak, saya turut serta spontan geram dengannya dan ikut “mensyukuri” kalau dia mendapat sanksi sosial. Hari itu saya ketik nama akun Twitter Florence di kotak pencarian di twitter, dalam 4 kali scroll ke bawah saja saya sudah mengetahui  lebih dari 50 kalimat makian dalam bahasa Jawa. Sanksi sosial yang berat, hingga dia menutup akun Twitter-nya.  Tapi coba dipikir-pikir lagi deh, apakah kesalahan itu sepadan dengan hukum perdata dan meletakkan Florence pada resiko dipenjara selama 6 tahun?

Siapa sih kita yang begitu geramnya hingga merasa pantas untuk menghukum orang lain seberat-beratnya untuk sebuah kesalahan yang masih manusiawi, kekesalan yang masih normal? Apa sih yang ingin dibuktikan dengan memenjarakan Florence? Bahwa tidak satupun manusia di tanah Indonesia boleh memaki-maki sebuah kota? Padahal banyak di sosial media yang saling memaki agama, budaya, gender, dan lain lagi yang bahkan di ucapkan oleh orang-orang yang lebih terpandang dan masih masuk dalam kategori public figure?

Jujur, saya saat ini sangat mempertanyakan kemampuan banyak dari kita untuk melihat seberapa peliknya sebuah masalah yang berujung pada seberapa besar tenaga dan pikiran yang harus kita keluarkan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Apakah Florence hampir menghilangkan nyawa manusia?  Apakah contohan buruk yang diberikan Florence memberikan sumbangsih besar dalam merusak pikiran generasi muda dalam menghargai budaya? Apakah secara signifikan pendapatan daerah DIY Yogyakarta turun? Apakah ada banyak masyarakat yang dimiskinkan karena Florence berucap sesuatu yang tidak masuk  akal?  Kalau semua jawabnnya tidak, lalu kenapa? Coba tolong ceritakan kepada saya, satu hal yang masuk  akal dimana perilaku bodoh ini telah merugikan banyak orang yang membuat dia pantas untuk dipenjara selama 6 tahun.

KECUALI, sekali lagi, kita memang tipe masyarakat yang suka MERAJAM orang, membesarkan masalah, dan mencari kesalahan kecil dari orang-orang yang seharusnya ditegur secara manusiawi, diingatkan kelemahannya, dan konsekuensi normal lainnya. Mungkin kita memang tipe orang yang sulit untuk MEMAAFKAN.

Untuk beberapa kali saya tekankan lagi bahwa apa yang dilakukan Florence salah dan sangat kekanak-kanakan, tapi bisakah kegeraman kita lebih manusiawi, dan bisakah kita melihat betapa tidak adilnya kita menanggapi beberapa masalah-masalah kecil yang muncul dari pemberitaan di sosial media.

Bebaskan Florence dan ingatlah bahwa seterusnya dia akan hidup dengan kenangan buruk dari kesalahan ini. Atau itu tidak cukup juga bagi kita?

PS: saya juga sengaja tidak taruh foto Florence ataupun link-link yang berkaitan untuk menghindari orang-orang yang akan jadi super sensitive mengenai kasus ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline