Lihat ke Halaman Asli

Fardan Irham Fatarani

Mahasiswa ilmu politik

Kotak Kosong di Kota Pahlawan: Cermin Demokrasi atau Formalitas?

Diperbarui: 29 Desember 2024   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Surabaya. Sumber ilustrasi: KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Kotak Kosong di Kota Pahlawan: Cermin Demokrasi atau Formalitas?

Pilkada Surabaya 2024 menghadirkan dinamika unik di mana pasangan petahana, Eri Cahyadi dan Armuji, kembali mencalonkan diri sebagai calon tunggal melawan kotak kosong. Dengan dukungan lebih dari 83% suara berdasarkan hasil quick count, pasangan ini secara statistik unggul telak. Namun, fakta bahwa kotak kosong memperoleh sekitar 16% suara tidak bisa diabaikan. Hal ini menggambarkan adanya ruang kritik terhadap demokrasi lokal yang perlu ditelaah lebih dalam: apakah ini menunjukkan stabilitas politik atau justru stagnasi demokrasi?

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dominasi Koalisi Gemuk dan Ketidakseimbangan Kompetisi Politik

Surabaya, kota yang dikenal sebagai pusat dinamika politik Jawa Timur, pada Pilkada 2024 justru menunjukkan minimnya kompetisi politik. Pasangan Eri-Armuji mendapatkan dukungan dari hampir semua partai besar, termasuk PDIP, Golkar, PKB, dan Gerindra (Newsmaker, Bisnis.com). Dominasi koalisi gemuk ini menjadi penghalang munculnya calon alternatif yang mampu menawarkan gagasan berbeda.

Titi Anggraini dari Perludem menyebut kondisi ini sebagai salah satu bentuk defisit demokrasi. "Fenomena ini mencerminkan bagaimana ruang politik sering kali dikendalikan oleh elit partai. Akibatnya, demokrasi kehilangan esensinya sebagai wadah kompetisi gagasan dan program kerja," katanya dalam sebuah diskusi nasional pada awal 2024, (Bisnis.com).

Kotak Kosong sebagai Simbol Kritik Publik

Meski pasangan Eri-Armuji menang telak, perolehan 16% suara untuk kotak kosong bukanlah angka yang kecil. Dukungan untuk kotak kosong dapat dilihat sebagai bentuk protes terhadap sistem politik yang dianggap tidak inklusif. Pemilih kotak kosong bukan berarti anti-petahana, melainkan mengekspresikan keinginan akan alternatif pilihan.

Profesor Kevin Evans, pengamat politik Indonesia, menjelaskan bahwa kotak kosong adalah instrumen demokrasi yang sah. "Suara untuk kotak kosong menunjukkan bahwa ada sebagian rakyat yang tidak puas dengan proses yang mereka anggap didikte oleh elit partai. Ini adalah cara mereka menunjukkan kritik tanpa golput," katanya dalam wawancara dengan media lokal.

Minimnya Regenerasi Politik di Surabaya

Regenerasi politik yang lemah menjadi salah satu alasan mengapa Surabaya menghadapi calon tunggal untuk kedua kalinya. Dalam sistem demokrasi yang sehat, kota sebesar Surabaya seharusnya melahirkan banyak tokoh potensial yang mampu bersaing dengan petahana. Namun, realitas menunjukkan bahwa partai politik masih kurang serius dalam membangun kaderisasi di tingkat lokal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline