"Perbedaan kita adalah kekuatan kita sebagai spesies dan sebagai komunitas dunia"
-- Nelson Mandela
Pada sekolah Kolese Kanisius kami memiliki program lintas agama, dimana kami yang mayoritas beragama Kristen Katolik harus tinggal di pesantren bersama beberapa hari. Program lintas agama ini dilakukan pada saat kelas 12, dan kegiatan ini dinamakan sebagai ekskursi. Saya dengan beberapa teman saya memiliki kesempatan untuk pergi dan tinggal selama beberapa hari pada Pesantren Al-Furqon. Ekskursi ke Pesantren Al-Furqon di Tasikmalaya adalah perjalanan yang penuh makna dan menjadi suatu pelajaran hidup. Pengalaman ini membuktikan bahwa perbedaan bukanlah penghalang ataupun sumber konflik melainkan anugerah yang memperkaya kehidupan. Pada artikel ini saya akan menceritakan pengalaman dan opini saya selama tinggal di pesantren Al-Furqon dan berkenal dengan santri-santri disana.
Ketakutan dan Kekhawatiran
Ketika mendengar bahwa kami ke pesantren, rasa khawatir sempat muncul di benak pikiran. Kekhawatiran muncul dari anggapan bahwa pesantren adalah tempat tertutup, khusus untuk mendalami agama Islam. Dalam benak saya, para santri mungkin tidak akan menerima kedatangan kami, yang berasal dari latar belakang budaya dan kepercayaan berbeda. Saya khawatir para santri tidak akan bergaul dengan kami karena kehidupan kami sehari-hari tengah kota yang sibuk, bising dan mereka tinggal di pesantren yang sunyi dan religius.
Namun, perjalanan panjang menuju Tasikmalaya mulai mengubah perspektif saya. Sesampainya di pesantren, saya menyaksikan sambutan hangat dari para santri dan santriwati. Setelah keluar dari bis mereka berbaris satu-satu bersalaman dan berkenalan dengan kami. Ketakutan saya perlahan berkurang ketika kami saling berkenalan. Kesederhanaan mereka menghadirkan rasa nyaman, sekaligus menyadarkan saya bahwa stereotip yang saya bayangkan dan yang saya prasangka itu tidak benar.
Salah satu momen yang paling membekas adalah kunjungan ke curug dan pemandian air panas. Di tengah percakapan santai sambil menikmati kehangatan air, suasana penuh kebersamaan terpancar. Interaksi yang terjalin menciptakan ruang untuk saling memahami, tanpa memandang perbedaan agama, bahasa, atau budaya. Kami juga bermain dan berkompterisi dengan mereka, seperti bermain sepak bola dan bola basket. Sesi olahraga ini juga menjadi momen bagi kami membangun keakraban dan persahabatan. Keterlibatan aktif ini menunjukkan bahwa persahabatan dan solidaritas dapat terjalin hanya dengan semangat saling menghargai.
Kehidupan di pesantren sangat begitu kontras dengan apa yang kita kenal di kota metropolitan seperti Jakarta. Para santri menjalani rutinitas dengan disiplin, mulai dari menghafal ayat-ayat Al-Qur'an, belajar, doa lima waktu. Keahlian mereka dalam berbagai bahasa seperti Sunda, Indonesia, Arab, dan Inggris sungguh menakjubkan dan membuat saya heran. Pesantren Al-Furqon ini juga memiliki program dimana para santri dan santriwati disana harus mengajar materi sekolah SD sampai dengan SMP. Pengajaran ini bukan hanya dilakukan menggunakan Bahasa Indonesia tetapi juga harus menggunakan bahasa Inggris dan Arab. Sebelum mengajar mereka juga harus mencatat setiap hal, detail kecil yang mereka akan bicarakan dan tampilkan pada papan tulis. Lingkungan yang terstruktur ini membentuk karakter mereka menjadi tangguh dan berfokus pada nilai-nilai spiritual.
Melalui interaksi sehari-hari, saya menyadari bahwa keberagaman dalam budaya dan kepercayaan memperkaya kehidupan. Anak-anak pesantren, meskipun hidup dalam aturan yang ketat, menyambut kami dengan hangat dan hati terbuka. Sikap mereka mengajarkan bahwa kebaikan tidak mengenal batas keyakinan dan perbedaan.
Perbedaan adalah Kekuatan