TAK ADA yang tahu sejak kapan sumur itu digali karena ketika rumah dibangun sumur itu sudah ada disana, dibelakang rumah didekat pohon rambai. Sumur itu sudah tak bisa digunakan lagi karena tidak memiliki mata air, pernah dulu Ayahku mencoba menggalingnya kembali, namun tidak juga bertemu mata air, padahal saat itu air sungai sedang pasang. Karena tidak bisa digunakan maka Ayahku memutuskan untuk menutup sumur itu dengan papan. Perlahan sumur itu diabaikan begitu saja, tetap disana tapi tidak pernah dirasakan keberadaannya. Lagi pula apa pentingnya sebuah sumur yang tidak berguna seperti itu, ada atau tidak ada pun tidak akan berpengaruh sedikit pun.
Namun aku memiliki ketertarikan dengan sumur itu, ketertarikan yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata, jika ditanya mengapa tertarik maka aku tidak akan pernah bisa menjawabnya, karena aku hanya tertarik, hanya tertarik!. Tapi ketertarikanku itu harus aku tahan karena Ayah melarangku untuk mendekati sumur itu, sampai-sampai dia menakutiku bahwa sumur itu berhantu. Walau aku baru berusia 7 tahun kala itu, aku tidak percaya bahwa sumur itu berhantu, aku mengerti bahwa Ayahku hanya menakutiku saja.
Aku sangat menurut apa kata Ayahku, oleh sebab itu aku selalu menyembunyikan ketertarikanku terhadap sumur tadi. Aku menyayanginya, sangat menyayanginya bahkan lebih daripada aku menyayangi Ibu. Ayahku seorang perawat, dia bekerja di Puskesmas satu-satunya di kampung kami. Dia sangat loyal terhadap pekerjaannya dan hampir setiap hari sabtu aku ikut dengannya ke Puskesmas, karena setiap sabtu aku pulang sekolah agak cepat daripada biasanya.
Di rumah aku memiliki dua saudara perempuan, Nov adalah kakak tertuaku sedangkan Dia adalah kakak keduaku dan aku (Nur) adalah anak terakhir dan lelaki satu-satunya. Aku dulu pernah bertanya pada Ayahku kenapa nama kami sangat pendek, hanya terdiri dari 3 hurup saja, tidak seperti nama orang-orang yang kadang terdiri dari 3 suku kata. Ayahku pun balik bertanya padaku,
“Jika nama kalian terdiri dari 3 suku kata, apa bedanya dengan 3 hurup saja?.”
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Ayahku itu dan setelah itu aku tidak pernah lagi menanyakan tentang nama kami.
Setiap hari minggu Ayah akan membawa aku jalan-jalan, biasanya kami memancing ber-2, ya hanya ber-2, karena kedua kakakku tidak terlalu suka memancing. Ayah akan menggunakan speedboat hingga kemuara sungai dan kami menghabiskan hari disana dengan membisu menunggu umpan pancing kami dimakan ikan. Aku sangat menikmati kesunyian saat memancing, mungkin begitu juga dengan Ayahku. Kami berdua sama-sama suka sendiri, dan kuakui kami memang banyak kemiripan.
Tak terasa aku mulai tumbuh dewasa, kakakku Nov baru saja menikah dan dia pindah ke rumah suaminya, lalu kakaku Dia kuliah ke kota dan tinggal disana, kini hanya aku Ibu dan Ayah yang tersisa di rumah dan juga sumur di belakang rumah kami. Usia kadang membuat banyak hal berubah, demikianlah yang terjadi padaku tanpa aku sadari. Aku mulai menemukan hal-hal baru yang kuanggap lebih menyenangkan bersama teman-teman, lalu aku jarang pergi ke Puskesmas di hari sabtu dan memancing bersama Ayahku di hari minggu. Tiba-tiba saja kami seperti berada di dua ujung tebing yang berbeda. Kadang aku juga kesal dan mulai merasa membenci Ayahku karena teman-teman di kelas sering mengejekku atas sikap Ayahku yang menyayangiku terlalu berlebihan, contohnya saja mencium dahiku ketika aku mau berangkat sekolah, menjemputku ketika pulang sekolah, padahal aku sudah cukup besar untuk pulang sendiri ke rumah. Maka pada suatu hari aku pun memintanya untuk tidak lagi menjemputku ketika pulang sekolah. Kami jadi semakin berjarak.
Lalu Ibuku meninggal dunia dan aku sangat bersedih karena hal itu. Ayahku terlihat tegar, tidak pernah kulihat setetes air mata pun merembes dari kantong matanya, aku tidak mengerti mengapa dia bisa seperti itu. Karena Ibu sudah tak ada maka kakakku Nov pindah ke rumah kami bersama anak dan suaminya untuk mengurus aku dan Ayahku, sedangkan kakakku Dia masih berjuang dengan kuliahnya yang hampir selesai.
Dan suatu hari kala itu kakakku Nov sedang pergi ke rumah mertuanya bersama suami dan anaknya, sedangkan Ayah masih bekerja di Puskesmas. Aku membolos sekolah, pulang ke rumah dan hanya mondar-mandir seperti orang bodoh, sebenarnya aku dilanda kegelisahan yang aneh, tiba-tiba saja ketertarikanku dengan sumur di belakang rumah kami itu menjadi sangat kuat, berkali-kali aku berdiri di pintu belakang rumah hanya untuk memandang sumur yang masih tertutup rapat itu. Hingga akhirnya aku tak tahan lagi dan mulai membuka tutup sumur tadi semampu yang bisa aku lakukan.
Tutupnya berhasil aku buka sedikit, dari celah itu aku melihat ke dalam sumur, ujung sumur begitu gelap padahal saat itu siang begitu cerah, aku penasaran dan mencoba menembus kegelapan untuk melihat dasar sumur. Karena terlalu menunduk akhirnya aku terjungkal dan jatuh ke dalam sumur. Aku jatuh dan tidak pernah merasa menemukan dasar dari sumur itu, aku hanya seperti melayang sambil berteriak meminta tolong. Tak ada yang mendengarku bahkan cahaya yang masuk dari celah tutup yang berhasil kubuka tadi pun menghilang menjadi pekat. Aku tak berdaya, aku tak bisa berbuat apa-apa, aku seperti menghilang dan aku takut pada akhirnya akan dilupakan seperti orang-orang melupakan sumur itu.