Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Pamit

Diperbarui: 30 April 2016   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

cover album Tulus

Sewindu pun tak ada artinya, apalagi untuk masalah hati dan cinta. Bahkan langit yang berwarna jingga, tak mampu khusuk mempertahankan megahnya. Angin laut menggeraikan rambut, menyingkap tabir pilu yang mungkin sulit berlalu. Leher jenjang putih itu terlihat memesona, bibir merah indah merona. Tapi yang diperlukan cinta bukan kedua hal itu. Cinta hanya perlu satu hal, yang hanya bisa didapatkan dengan banyak hal. Hal-hal yang sulit untuk dipahami.

Narsih tak habis pikir, jikalau di langit cerah membiru, kadang petir bisa datang menyerbu. Jemari tangan yang digenggamnya erat pada akhirnya harus terlepas dengan hiasan rintik hujan. Perih memang, sakit memang, dunia terasa tak berarti lagi, hari-hari tak punya arti. Dan coba diputuskannya untuk menunggu malam, siapa tahu tata letak bintang dan rembulan bisa berubah.

Tangis tumpah, tak kunjung sudah.

___

Kemerah-merahan semburat muncul di langit sebelah timur. Tanda-tanda matahari segera terbit, mencipta pancaran horizontal pada garis cakrawala. Fajar yang ditunggu Tajarudin sejengkal lagi akan bersua. Dan inilah kenyataannya, sama seperti senja, fajar tidak akan pernah bisa bertahan lama.

Ia maju sedikit melewati batas atap rumah, menyusuri pagar kayu setinggi pinggang. Di ranting pohon kering yang hampir mati, seekor burung murai bertengger. Kicaunya merdu masyuk tak terbantahkan.

Menunggu adalah, saat rindu terasa meruncing setajam pisau, menusuk pelan, melukai dari dalam.

___

Lama tak bersua kadang menjadi kolam kecil tempat sekawanan kangen berenang. Oleh sebab itu setiap dari kangen tadi, harus terbayar ketika dua pasang mata berona cinta saling tatap, tangan saling jabat, tubuh saling pagut dengan erat. Dan semua angan itu tidak pernah benar terjadi. Seperti awan-awan yang menggumpal menutupi rembulan, tak selamanya hujan akan turun.

Narsih dan Tajarudin bisu, suara orang lain bicara menyumpal telinga mereka di warung itu. Kadang gelak tawa, kadang cerita ngaur tentang hal-hal lucu. Semua hanya kadang-kadang, tidak seperti mereka berdua yang berasa abadi tanpa kalimat apa pun .

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline