Lihat ke Halaman Asli

Mabuk Kursi Merah

Diperbarui: 21 Januari 2016   18:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah sejak lama aku berada di ruang ini, ruang dengan dinding berwarna krem, serta pencahayaan yang sahdu bagai sepasang mata yang mengantuk. Sudah sejak lama, hingga aku tidak bisa mengingatnya. Namun walau pun demikian aku masih bisa mengingat beberapa hal yang terjadi tidak lama ini, terjadi tepat di depanku, hanya berjarak jengkal atau bahkan terkadang tidak berjarak sama sekali.

Dia seorang perempuan, perempuan yang memiliki aroma harum semerbak bunga-bunga mekar di taman surga. Harum aromanya begitu kuat, sampai-sampai menempel di tubuhku berhari-hari lamanya. Jelas saja aku tidak mengeluhkan aroma harum itu sebab aku sangat menyukainya, ya benar-benar menyukainya karena aroma itu seakan membawa kenangan masa lalu yang masih terlukis samar di ingatan.

Seingatku perempuan itu bernama Bamega. Demikianlah laki-laki itu memanggilnya. Tapi setelah ku pikir-pikir apa pentingnya nama perempuan itu, sebab nyatanya aku tidak akan pernah bisa menyebutkan namanya, mencipta suara hingga bergema di lorong telinganya.

Tak lama setelah Bamega masuk ke ruangan berwarna krem tadi, dia langsung berjalan menghampiriku, duduk berpangku denganku. Rambut hitamnya menyentuh permukaan kulitku, membuat aku sedikit geli walau tidak sampai bergidik dibuatnya.

“Kau membawa pesananku tadi kan?.” Tanya Bamega pada laki-laki yang masih berdiri memerhatikannya.

Laki-laki tadi melangkah mendekat, kemudian mengeluarkan beberapa botol minuman kaca berwarna hijau, warna hijau itu seolah melukiskan kesegaran pepohonan di dalam hutan. Botol kaca hijau tadi di susun di atas meja, jumlahnya cukup banyak untuk jenis minuman seperti itu, bahkan cukup banyak jika diperuntukan untuk mereka berdua saja.

“Tapi aku harus pergi dulu!,” ucap laki-laki tadi dengan enggannya.

“Seberapa lama, apa cukup waktu jika aku harus menunggumu,” ada nada kekecewaan terlantun di suara tanya itu.

Laki-laki tadi menggeleng. “Maafkan aku, ini prihal tentang kekasihku, tak bisa ditawar, tak bisa kau tunggu.”

Tersungging gerak di bibir Bamega, bukan gerak senyum memaklumi, tapi gerak cemberut yang mengunci mulutnya dari kata-kata selanjutnya.

“Maafkan aku!,” laki-laki tadi beranjak tanpa menunggu jawaban.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline