Lihat ke Halaman Asli

Memorabilia

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Window oleh Boias. Ilustrasi: Devianart)

“Aku tak akan melupakan momen senja kala waktu itu. Pertemuanku dengannya mulai membuatku memikirkan kembali tentang makna perjuangan. Inilah, memorabiliaku.”

Langit mendung bergumul kelabu, menanti tetesan hujan yang siap turun membasahi daun-daun pohon dan tanah-tanah berlapis aspal. Cahaya matahari yang biasanya menyinari pagi dengan begitu terangnya, terhalang oleh kumpulan awan-awan kelam. Udara tak bercampur debu-debu yang beterbangan masih terasa segar berhembus kencang. Orang-orang, seperti biasa, tetap melakukan kegiatan sehari-harinya, mencari penghidupan. Mereka melangkahkan kaki dengan ringan. Sesekali mereka harus menghindari jalanan becek bekas hujan semalam dan para pengemudi kendaraan bermotor yang senang sekali mengebut, seolah-olah menunjukkan kebanggaannya karena dapat menguasai jalan. Sementara anak-anak sekolah dasar berlari-larian sembari mengejar bus sekolah berwarna kuning. Rupanya pak supir tak mendengar, sampai salah seorang dari mereka berteriak agar pak supir segera menghentikan busnya. Dengan nafas terengah-engah, tubuh mungil mereka akhirnya berhasil masuk ke dalam bus.

Yah, begitulah pemandangan pertama yang kulihat dari balik jendela. Hanya kusingkapkan sedikit tirai hijau yang menutupinya. Selang beberapa waktu kemudian, aku menatap langit yang sebentar lagi tiada kuasa akan menurunkan hujan. Beberapa kali, diselingi oleh suara gemuruh petir. Tidak ada yang aneh. Pemandangan seperti itu terasa hampa dan biasa saja bagiku. Seperti halnya keadaan rumahku yang sepi. Aku merasa bosan.

Aku anak kedua dari dua bersaudara. Sementara teman-temanku sudah lulus dari bangku kuliah, bekerja di luar negeri, hingga menikmati buah kesuksesan, aku masih tidak tahu apa yang ingin kulakukan dalam hidupku. Sempat aku kuliah, tetapi tak lama kemudian aku memutuskan untuk berhenti saja. Sudah lama pula aku tak saling berkirim kabar terhadap teman-temanku. Yah, mungkin karena aku sendiri yang berusaha untuk menjaga jarak dengan mereka.

Aku tak bergairah dalam menjalani hidup. Aku tahu, kapan saja aku dapat mati meninggalkan dunia ini. Semenjak kecil, aku mengidap penyakit jantung. Badanku serasa lemah, seperti daun yang mudah dihempaskan oleh angin. Untuk berlari-lari kecil saja, aku sudah merasa kepayahan. Terlebih lagi jiwaku. Hari-hariku lebih banyak dihabiskan untuk beristirahat, menanti kesembuhan yang entah kapan kunjung datangnya. Berapa banyak kesempatan yang sudah kulewati selama ini, mencari berbagai pengalaman hidup. Keluar dari zona membosankan. Berlagak seperti jagoan muda yang gagah, kalau perlu. Tetapi, semua itu hanyalah khayalan aku saja.

Aku sendiri jarang sekali bertemu dengan orangtuaku. Setidaknya dalam keadaanku yang seperti ini, aku membutuhkan sosok mereka. Kalau kebetulan ada acara yang sangat penting saja, aku berkesempatan untuk menemuinya. Itupun tidaklah lama. Bahkan menanyakan bagaimana kondisi penyakitku saja hampir tidak pernah. Mereka lebih sering berada di luar negeri, lebih mementingkan bisnis yang dijalankannya. Hubungan antara ayah dan ibuku memang sudah lama agak renggang. Di hadapanku, mereka seringkali menutupinya seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tetapi, aku bisa membaca apa yang mereka sembunyikan di lubuk hati mereka. Dan aku tidak ingin membahasnya, lebih memilih diam.

Terhadap kakakku, Ardy, aku juga jarang bertemu dengannya. Maklum, ia seorang tentara. Umurnya lima tahun lebih tua dariku. Ia seringkali menyempatkan diri untuk mampir ke rumah kala tak sedang bertugas, mungkin setahun dua hingga tiga kali. Kerap kali ia suka bercanda dan melucu untuk menghiburku. Tak jarang pula ia suka berbuat iseng. Aku kagum dengan sikapnya yang selalu bersemangat dan terlihat gagah meski aku merasa heran juga, bagaimana kakakku memiliki sifat humoris seperti itu, padahal ia adalah anggota militer. Dan yang lebih mengherankan lagi, bagaimana bisa kakakku yang ceroboh dan konyol itu bisa diterima sebagai anggota militer. Mungkin karena semangatnya dan sikap optimisnya yang kuat yang dimilikinya. Yang pernah kudengar darinya, ia secara spontan pernah menembakkan pistol yang hampir saja mengenai atasannya, hanya karena ia melihat seekor tokek datang menghampiri meja makan. Kakakku memiliki fobia terhadap reptil tersebut. Akibatnya, seisi ruang makan menjadi heboh kala itu. Beruntung, ia tak dikeluarkan. Sebagai gantinya, dia dihukum dengan mencuci pakaian atasannya selama satu bulan.

Kakakku pernah mengatakan padaku bahwa ia ingin masuk militer karena rasa kekagumannya akan sosok Jenderal Soedirman, yang menurutnya sarat makna akan perjuangan. Alasan lainnya adalah ia merasa bangga bila dapat melindungi adiknya. Meski aku tak terlalu menanggapinya dengan serius, aku setuju saja dengan keinginannya itu. Sempat ditentang oleh kedua orangtuaku karena mereka ingin agar kakakku menjadi pengusaha, namun kakakku tetap bersikeras pada pendiriannya.

Setidaknya, kehadiran kakakku sanggup untuk mengobati rasa kesepian yang seringkali menghantui diriku. Kadang aku menelepon atau berkirim surat dengannya untuk sekadar menanyakan kabar. Tetapi umumnya, aku tidak ingin mengutarakan apa yang sedang kurasakan pada orang lain. Semua itu kututup rapat-rapat dalam hatiku. Aku tidak mau membuat mereka merasa terbebani oleh keadaanku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline