Lihat ke Halaman Asli

Caleg dan Kebesaran Jiwa

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kompetisi, apapun jenisnya, selalu bermuara pada dua hal: sukses dan gagal. Kemenangan yang tertunda, sebagaimana yang sering diucapkan orang hanyalahpolesan bahasa penawar duka. Hanya terdengar sayup-sayup, tidak mengubah fakta. Kemenangan selalu memacu euforia, sedangkan kekalahan seringkali menggiring korbannya pada kondisi terpuruk. Tentu saja bagi mereka yang pertahanan jiwanya rendah. Bermental kerupuk, kata orang-orang di sekitar lingkungan saya.

Kompetisi di panggung politik adalah satu di antara perlombaan yang menawarkan beragam prestise. Peminat banyak, kursi terbatas menyebabkan persaingan semakin ketat dan tidakterelakan. Penghalalan segala cara untuk meraih tujuan pun terjadi, bahkan sudah membudaya. Tentu saja ini merupakan investasi politik buruk bagi bangsa ini.

Akibat ketatnya persaingan, korbannya sudah berjejer rapi. Pondok Pesantren (Ponpes) Berojomusti Lamongan Jawa Timur, misalnya, kebanjiran pasien dari para Caleg yang depresi atau stres lantaran tidak terpilih menjadi wakil rakyat. Selain dari wilayah Lamongan, juga Jakarta hingga Kalimantan. Metode dan pendekatan sipritual dilakukan untuk mengembalikan kondusivitas kejiwaan.Ada juga yang terbilang parah, di Bogor seorang Caleg linglung, berjalan tidak tentu arah, lalukedapatan mencuri sandal dan kelapa milik orang lain.Ramai-ramai dilempar warga sebelumkeluarga mencegah dan menjelaskan posisi kejiwaannya.

Namun, apapun kompetisi itu masuk dalam ruang skala waktu tertentu. Bergantung pada pribadi yang menyikapinya. Demikian pula dalam dinamika Pemilu Legislatif 2014, selalu ada letupan yang menandai perjalanan waktu. Mereka yang meraih suara signifikan kini merasa di atas angin, mereka yang mendulang suara cekak merasa teralienasi dari ranah publik. Ada baiknya kita mencermatikalimat bijak:kegagalan bukanlah saat seseorang jatuh, tetapi saat seseorang menolak bangkit.

Jika kita jujur, tidak ada orang yang tidak pernah gagal. Medium dan lapangan kehidupan setia menyediakan ruang kompetisi bagi siapa saja. Ada kalanya mampu dilewati, namun hadangan juga setia menemani. Thomas Alva Edison adalah contoh par exelence soal kegigihan berusaha, kekuatan mental segera bangun dari kegagalan. Sebelum berhasil menyempurnakan lampu listrik, Edison telah berkali-kali gagal.

Namun, konstruksi bangunan mentalitasnya amatlah kukuh. Oleh karena itu, mengapa begitu banyak ‘orang biasa’ dan hanya ada satu Edison.

Soal kompetisi politik, mereka (Caleg) yangberangkat dari keyakinan dan pilihan ideologi, memiliki kebesaran jiwa dan tidak cepat menyerah. Karena ada sesuatu yang berharga diperjuangkannya. Mereka setia bertahan dan tidak lantas menjadi ‘kutu loncat’ ke Parpol lain yang berideologi berbeda.

Dalam bahasa lain, Caleg yang ‘ambruk alias tiarap’ hanya mereka yang berpikiran pragmatis dan gamang memahami ideologi perjuangan politiknya. Anda termasuk yang mana?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline