Lihat ke Halaman Asli

Rentetan Kematian Itu…

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Al-Quran, Allah secara tegas menyatakan bahwa “kullun nafsin dza ikatul maut, setiap yang bernyawa akan merasakan mati”. Semua akan menuju lubang kematian. Hanya soal waktu yang membedakannya. Duluan atau belakangan. Hari ini, besok, atau lusa. Guliran waktu yang terus bergerak ke depan hanya isyarat pasti semakin berkurangnya durasi kehidupan. Hal yang pasti, tidak ada garansi apapun soal umur manusia dan makhluk lainnya. Kematian setia mengintai kita setiap saat. Bahkan, detik per detik.

Soal kematian ini, ada sejumlah contoh yang perlu saya sebut sebagai gambaran, sekaligus i’tibar bagi kita. Kita ambil saja kasus kematian Wali Kota Bima, HM. Nur A Latif, pada 6 Maret 2010 lalu di Jakarta. Mendadak dan tidak disangka. Apalagi, sangat jarang ada Kepala Daerah yang wafat saat sedang masa tugas. Saat mendengar kematian itu, awan hitam bak memayungi kanvas langit Dana Mbojo.

Warga Kota dan Kabu­­paten Bima, berkabung. Banyak yang tidak percaya. Secepat itulah Allah mengambil nyawanya? Namun, faktanya pria bergaya flamboyan kelahiran dataran tinggi Kecamatan Wawo itu wafat secepat itu. Tidak mampu menolak takdir. Saat derap pembangunan dipacunya secepat mungkin dan masyarakat merespeknya. Saat penguburan, para pentakziah mencapai ribuan. Allah memiliki skenario lain yang tidak kita pahami.

Pada kesempatan lain, berita duka kembali memayungi Dana Mbojo. Bupati Bima, H Ferry Zulkarnain, wafat pada Kamis (26/12/2013) pagi di Rumah Sakit Umum Daerah Bima. Sejumlah pihak kaget. Istri, anak, dan keluarga dekatnya jangan lagi bagaimana ditanya ekspresinya. Bak disambar petir saat siang bolong. Sekali lagi, apalagi jarang ada Kepala Daerah yang wafat saat masa tugasnya.

Tidak ada yang menyangka bahwa kunjungankeliling lokasi areal banjir pada Rabu siang hingga sore merupakan momentum terakhir Sang Bupati bersama rakyat. Setelah itu, azal menjemputnya. Jenazahnya diantar ribuan warga dan keluarga dekatnya. Seperti kata Istrinya, Hj Indah Damayanti Putri, meski keluarga sangat mencintainya, namun Allah lebih mencintainya.Kematian teramat dekat. Siapa saja bisa mengikutinya. Allah Sang Mahapengatur Kehidupan ini.

Hal mengagetkan juga saya alami selama kurun waktu sebulan terakhir. Rabu pagi, 23 Juli 2014 lalu, tetangga samping rumah yang juga suami-nya sepupu, tewas mengenaskan dalam kecelakaan sepeda motor di jalan Soekarno-Hatta Kota Bima. Mata kirinya bengkak dan lebam. Bagian belakang kepalanya dihantam aspal. Koma selama sekitar 2,5 jam, azal menjemputnya.

Umurnya baru 37 tahun, meninggalkan satu istri dan dua anak perempuan. Sejak tabrakan dengan pengojek itu, kesadarannya hilang. Terbujur kaku di ruangan medis. Tentu saja hentakan kematian yang tidak kalah mengagetkan dibandingkan sebelumnya. Apalagi, terlibat interaksi harian layaknya keluarga plus tetangga.

Episode lainnya, tewasnya Kapolsek Ambalawi Kabupaten Bima, IPTU Abdul Salam, di pegunungan Kole saat menuju tempat tugasnya pada Sabtu 16 Agustus 2014 lalu. Anak almarhum adalah tetangga samping rumah. Korban tewas setelah peluru yang dilesakkan oleh pria tidak dikenal menembus helm hinggabersarang di kepalanya. Suatu “kado pahit” bagi keluarga dan momentum HUT ke-69 Kemerdekaan RI.

Penembaknya masih misterius. Apakah para teroris seperti yang sebelumnya memuntahkan peluru pada Bripka M Yamin hingga tewas? Apakah berkaitan dengan dendam dalam penanganan tugas korban? Ataukah gesekan internal? Entahlah.

Kejutan terakhir, seorang nenek depan rumah orangtua di Kecamatan Sape, juga menghadap Ilahi Rabbi pada Kamis, 21 Agustus 2014 lalu. Kondisi tubuhnya memang menurun sejak tiga tahun terakhir. Usianya terbilang sepuh untuk ukuran di sekitarnya. Allah pun memiliki skenario lain yang tidak mampu kita singkap maknanya.

Tentu saja anak-anaknya berduka melepas kepergiannya. Suatu beban berat saat kasih-sayang kuat menghujam, namun harus realistis terhadap takdir Ilahi. Itulah kematian yang tidak bisa dimajukan atau dimundurkan waktunya. Ketika saatnya tiba, tidak ada seorang pun yang dapat menolaknya.

Ya, lintasan waktu kehidupan seseorang adalah hak Allah SWT. Sang Sutradara Agung Kehidupan ini. Tidak ada yang mengetahuinya. Kita hanya khalifah. Satu di antara sekian banyak rahasia mengapa kematian itu tidak diberitahukan adalah agar setiap saat manusia berlomba-lomba dalam berbuat amal kebaikan sebanyak-banyaknya.

Medan kehidupan adalah wahana untuk mengeksplorasi nilai-nilai kebaikan untuk tabungan amal menuju perjalanan sunyi ke akhirat. Bentangan kematian dan kehidupan dihadirkan untuk menguji siapa di antara kita yang terbaik dalam karya (amal). Inilah makna dari ayat ke-2 surah Al-Mulk. “Alladzi halaqal mauta wal hayata liyabluwakum ayyukum ahsanu amala…” Kehidupan tanpa kematian, betapa sumpeknya kolong langit ini. Itu baru kelompok manusia, belum lagi binatang, pohon, dan lainnya.

Dari perspektif itulah, bagi kita yang masih hidup, maka mengambil i’tibar adalah tuntutan utama. Mari berlomba dalam kebaikan dalam medan tugas masing-masing. Fastabiqul khairat. Meniti jalur sirath al mustaqim, senyampang kesempatan masih ada. Mari kita menyelami setiap detak dan detik kehidupan, merefleksinya untuk memantapkan perjalanan ke depan.

Kepergian Wali Kota Bima, HM Nur A Latief, Bupati H Ferry Zulkarnain, Abdul Salam, suami sepupu, dan nenek itu, juga anak manusia lainnya di sekitar kita, semakin menegaskan kefanaan kehidupan ini. Luruhnya dedaunan hingga menyatu dengan tanah juga simbol lainnya adalah sinyal bahwa segala sesuatu ada masanya. Menguncup, muda, remaja, tua, hingga menguning dan selanjutnya menanti waktu tiarap ke tanah. Kita jangan sampai terlena, karena sesungguhnya dalam jalur antrean menuju kematian itu.

Sisi yang perlu terus disadari adalah bahwa kematian mengintip. Setiap saat, kemanapun, dimanapun, dan dalam posisi apapun kita hari ini. Apakah seorang Presiden, Menteri, Gubernur, Wali Kota, Bupati atau apapun. Semuanya masuk ‘waiting list’ menghuni perkampungan ‘rumah masa depan’. Sekali lagi, dunia ini fana, akhiratlah yang kekal. Hanya bersikukuh dalam keimanan dan menyemai amal kebajikan yang dapat menyelamatkan.

Mari ber-muhasabah di titik ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline