Wajah Aira terlihat merah; marah. Beberapa kali ia mencoret kalimat yang ia tulis pada selembar kertas dimeja. Bu Shifa, guru kelasnya meminta ia menulis cerita pendek untuk mengikuti lomba antar kelas.
"Aira yang akan mewakili kelas kita ya, nak." Tukas Bu Shifa pagi itu dan Aira menganggukkan kepala tanda setuju.
Ia sangat suka sekali menulis, tetapi entah hari ini tak ada satu idepun yang bisa ia jadikan sebuah cerpen. Bahkan di kamar tempat ia biasa merasa nyaman untuk menulis. Karena kesalnya ia merobek kertas di depannya menjadi sobekan-sobekan kecil; meremasnya dan melempar sesukanya. Mukanya ditekuk seperti lipatan baju yang kusut.
"Aduh, kenapa sampai melempar seenaknya gitu sih?" Suara Kak Fara terdengar sembari masuk kamar Aira.
"Sebel, dari tadi gak ada ide nulis cerpen buat lomba." Gerutunya.
Aira merebahkan tubuhnya yang kurus di tempat tidur berspei polkadot warna merah. Ia merangkul guling kesayangannya sambil memiringkan badan dan memunggungi Kak Fara yang duduk di pinggir tempat tidur. Tangan Kak Fara mengelus rambut adik kesayangannya itu.
"Kalau pikiran sedang lelah, istirahat saja dulu." Ucap Kak Fara sambil terus mengelus rambut Aira.
"Besok cerpen itu harus selesai dan dikumpulkan, Kak."
"Iya, tapi tidak harus dengan merobek dan membuang kertas dengan percuma, kan? Kalau saja Aira tahu berasal dari apa selembar kertas itu dibuat, pasti akan memanfaatkan dengan baik lembaran-lembaran kertas itu."
Beberapa detik kemudian Aira langsung memutar tubuhnya menghadap Kak Fara. Ia menatap wajah kakaknya dengan penasaran.
"Memangnya darimana kak?"