Lihat ke Halaman Asli

Arieans_Saputra

Pembelajar

Kiai Tumenggung Jayapati, Sepenggal Perjuangan Rakyat Batang Alai

Diperbarui: 2 September 2021   11:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pasukan Von Ende menyebarangi Sungai Batang Alai (1860), litografi karya C.F. Kelley (1887)

Prolog

Momentum Agustus yang baru saja berlalu sarat dengan nuansa kemerdekaan dan patriotisme mengingatkan pada satu episode sejarah berlatarkan Perang Banjar. Peristiwa ini tercatat pada 161 tahun silam, tepatnya pada tanggal 17 dan 27 Oktober 1860 di Batang Alai, sebuah daerah tua yang kini masuk wilayah administrasi Kecamatan Batang Alai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah di Kalimantan Selatan. Peristiwa heroik itu menampilkan seorang tokoh perlawanan ke tengah arena. Dalam catatan resmi kolonial, ia dikenal dengan nama Kiai Djajapati.

Sebetulnya tradisi keluarga lebih mengenangnya sebagai Tumenggung Jayapati. Sementara gelar Kiai sesuai sumber yang digunakan dalam tulisan ini, yaitu De Bandjermasinsche Krijg van 1859 – 1863 terbitan Thieme Arhem tahun 1865 karya Willem Adriaan Van Rees. Gelar ini mungkin mengacu pada jabatannya di era kesultanan, sebelum kesultanan itu dihapus Belanda pada 1860, di mana di buku itu Jayapati disebutkan pernah menjadi seorang Kiai atau Kepala Daerah Paramasan Amandit. Untuk sementara, penulis bersandar pada buku tersebut sebagai satu-satunya sumber tulisan ini, mengingat sumber lain memang belum ditemukan. Ke depannya, kita tentu akan mengupayakan penyempurnaan sekiranya terdapat temuan-temuan baru yang menyangkut tokoh atau topik yang diangkat.

Terhadap De Bandjermasinche Krijg, penulis melakukan reinterpretasi dan kajian ulang pada bagian-bagian tertentu dengan tanpa mengubah substansi faktualnya. Ini penting sebagai upaya netralitas konten tulisan, mengingat sejak awal karya van Rees itu memang dimaksudkan sebagai dokumentasi resmi militer Belanda tentang Perang Banjar. Jika terjemahannya disajikan secara mentah tentu akan kuat bias kolonialnya, dan dalam konteks ini Jayapati otomatis terdampar sebagai tokoh antagonis. Sudah barang tentu hal ini akan menyulitkan tercapainya target penulisan, yaitu menempatkannya sebagai tokoh perlawanan pribumi di tengah situasi konflik yang terjadi.

Sebagai catatan, hasil dari reinterpretasi terhadap De Bandjermasinche Krijg seperti disebutkan sebelumnya, akan diuraikan secara “bebas”, dalam arti penulis melakukan penyesuaian ejaan, selain sedikit “improvisasi” dalam rangka rasionalisasi logika penulisan. Di samping itu, sebagai warga Batang Alai, penulis dalam upaya reinterpretasi ini memaksimalkan pengetahuan dan kepahaman akan demografi dan geografi Batang Alai itu sendiri yang kemudian disandingkan dengan data dalam laporan perang tersebut, hal ini penting guna mengukur kadar presisi data sumber dan hidupnya alur cerita. Tetapi sekali lagi, secara garis besar maupun untuk detil-detil peristiwa dan tokoh, tulisan ini tetap setia pada substansi sumber.

Jika dibandingkan tokoh lain yang terlibat dalam Perang Banjar, nama Jayapati relatif masih jarang -- untuk tidak mengatakan tidak pernah-- dilakukan penelitian mendalam menyangkut rentetan peristiwa Perang Banjar. Apalagi diangkat sebagai fokus kajian utama. Sebagai konsekuensinya, publik banua (sebutan lain untuk publik Kalimantan Selatan)-pun kurang mengenalnya. Setidaknya jika dibandingkan nama-nama besar seperti Pangeran Antasari, Pangeran Hidayatullah, Demang Lehman, Datu Aling, Haji Buyasin, Tumenggung Jalil, Penghulu Rasyid dan lain-lain, nama tokoh ini seolah tenggelam dalam arus wacana utama. Kenyataan ini membuat kiprah sejarah Jayapati tak terekam dengan jelas. Akibatnya, perjuangannya pun seakan meninggalkan jejak-jejak sunyi baik di ranah wacana, maupun dalam sistem memori masyarakat. Padahal untuk perlawanan rakyat di daerah Batang Alai perannya terbilang signifikan. Ia bahkan sempat memberi Belanda kekalahan dalam dua kali pertempuran, dan hal itu “diakui” atau dikonfirmasi Belanda sendiri melalui sumber yang kami sebutkan di atas.

Nah, dalam kaitan itulah tulisan ini dibuat, yaitu untuk mengisi ruang kosong pada lembar-lembar wacana yang memang sudah semestinya diukirkan sekelumit nama dan kisah tentang dirinya, Kiai Tumenggung Jayapati.

 Pertempuran Pertama di Benteng Rantawan, 17 Oktober 1860

 Berawal dari mundurnya Demang Lehman pasca pertempuran Benteng Madang di daerah Batang Amandit. Sebelumnya pada September 1860, ia bersama Tumenggung Antaludin dan barisan pejuang rakyat, berhasil mempermalukan Belanda dalam 5 kali pertempuran. Peristiwa epik itu bisa disimak pada berbagai hasil penelitian terdahulu.

Dari sana, Demang Lehman mundur ke arah utara, ke daerah Alai yang memang terhubung oleh Pegunungan Meratus. Sehubungan dengan itu, Kiai Jayapati membangun "gudang" di desa Jati, sekarang Birayang Surapati, yang disinyalir sebagai penyimpanan logistik perang. Logistik tersebut dipersiapkan untuk menyambut kedatangan Demang Lehman dalam rangka melanjutkan peperangan melawan Belanda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline