Kita semua tau bahwa konsep model bisnis bank saat ini adalah sebagai lembaga intermediary, dimana bank yang akan mempertemukan pemilik dana (deposan) dengan pengguna dana (debitur) yang sekaligus menjadikan bank selalu berkonsentrasi untuk mengelola risiko likuiditasnya. Risiko likuiditas bank timbul karena bank menerapkan konsep fractional reserve yaitu menyalurkan dana yang disetor oleh para deposan untuk mendapatkan keuntungan dari pengelolaan dana "nggangur" tersebut.
Bank komersial pada jaman now memang sudah mengalami perubahan model bisnisnya, yang sebelumnya Bank sebagai lembaga penitipan uang atau dana yang dimiliki masyarakat untuk mendapatkan layanan keamanan dan kenyamanan berubah menjadi Lembaga penyalur pembiayaan yang dananya bersumber dari dana titipan masyarakat. Potensi keuntungan yang dilirik oleh Bank terlihat sangat menggiurkan jika menyalurkan dana titipan tersebut, dan dalih mitigasi risikonya adalah dengan melakukan pencadangan untuk kebutuhan likuditasnya.
Secara ilustratif Fractional reserve banking model itu dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa pada mulanya Bank akan menghimpun dana deposan (hutang), misalnya Rp. 10.000,- dan kemudian bank melakukan pencadangan sebesar 10% atau Rp. 1.000,- artinya Bank berhak menyalurkan kredit (aset) sebesar Rp. 9.000,- kepada para debiturnya dengan menetapkan keuntungan misalnya 5% per tahun, dan tentu saja Bank akan mendapatkan penghasilan Rp. 450,- dari dana yang bukan miliknya. Yang lebih luar biasanya lagi adalah saat uang pencairan kredit kepada debitur Rp. 9.000,- tersebut masih disimpan pada rekening di Bank tersebut, maka Bank secara otomatis akan mendapatkan peningkatan jumlah nominal di Neracanya. Dan kemudian apa yang terjadi? Yup betul sekali, Bank akan mencatatkan peningkatan dana Deposan menjadi Rp. 19.000,-. Dan kejadian diawal paragraph terus berulang dan menggulung.
Beberapa waktu belum lama ini kita semua dikejutkan dengan berita bahwa beberapa Bank di Amerika Serikat yang cukup besar kolaps seketika karena kondisi likuditasnya. Silicon Valley Bank (SVB) Bank yang berdiri pada 1983 tersebut membutuhkan suntikan modal karena banyaknya klien mereka yang menarik simpanan. Signature Bank ditutup oleh regulator pada Minggu malam waktu AS, dua hari setelah SVB. Silvergate Bank ternyata mengalami nasib yang sama. Silvergate mengatakan bahwa mereka akan menghentikan operasi dan melikuidasi banknya. Dan ada Credit Suisse serta First Republic Bank yang juga sedang dalam ancaman kolaps pascakejatuhan SVB. Hal tersebut menjadi bukti betapa ringkihnya bisnis model yang dijalankan oleh industry perbankan jaman now.
Kita semua tau kalo Bank adalah lembaga intermediary yang mempertemukan pihak yang punya uang dengan pihak yang butuh uang, yang menjadi concern disini adalah jangka waktu kredit yang disalurkan bisa mencapai kelompok tenor jangka Panjang seperti halnya KPR, bisa sampe dengan 20 tahun loh bahkan ada yang menawarkan hingga 30 tahun. Maksud dari jangka waktu kredit itu adalah Debitur boleh mengembalikan dengan cara angsuran atau sedikit demi sedikit hingga waktu yang ditentukan, misalnya bisa sampe 30 tahun kalo kreditnya dalam bentuk KPR. Sedangkan dana yang digunakan Bank adalah dana yang dihimpun dari masyarakat dalam bentuk giro, tabungan atau pun deposito yang masing-masing tenor nya maksimal hanya 1 tahun, maksudnya disini adalah Deposan berhak menarik dananya secara full amount kapan saja, paling lama setahun kemudian. Hal ini loh yang menjadi bank sebagai intermediary menjadi lembaga yang memiliki risiko solvabilitas yang sangat tinggi.
Lalu apa yang harus dilakukan Bank saat ini?
Bank harus mau menuju fase beyond banking, dimana Bank mulai mau menerapkan full reserved banking model, yaitu yang pertama caranya adalah dengan mempertemukan para investor yang mau menanamkan dananya untuk produksi kredit yang telah dilakukan Bank, dengan melakukan tranformasi aset kredit (tidak likuid) menjadi surat berharga yang dapat di akses oleh para investor. Yang kedua, Bank bisa menurunkan risiko mistmatch dana kelolaanya dengan mengakses pinjaman bilateral kepada Lembaga Pembiayaan lain yang masa pinjamannya bisa disesuaikan dengan kriteria produksi kredit yang dilakukan oleh Bank.
Sejak tahun 2005, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan telah mendirikan Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan (PPSP) yang bertindak sebagai salah satu Special Mission Vehicle (SMV) untuk melakukan kegiatan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2008 juncto 19/2005, adalah membangun dan mengembangkan Pasar Pembiayaan Sekunder Perumahan (PPSP) yakni adanya pasar pembiayaan perumahan atau pasar primer yang kuat dan efisien sebagai landasan berdirinya PPSP agar tidak rentan terhadap gejolak ekonomi dan keuangan.
Tidak kita pungkiri bahwa Bank telah mampu memberikan dampak peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat, namun tentunya hal tersebut perlu dicapai dengan tidak menimbulkan masalah lain, yaitu risiko likuiditas perbankan yang memiliki dampak sistemik. Kita harapkan kondisi kolapsnya bank-bank di AS tidak terjadi di Indonesia, yang nanti pada ujungnya tentu saja Pemerintah harus turun tangan. Tidak cukup dengan berharap, tapi Pemerintah Indonesia telah hadir untuk meminimalkan risiko tersebut dengan mendirikan PPSP bernama PT. SMF (Persero)
wallahu'alam bissawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H