Lihat ke Halaman Asli

Miayazlin

Penulis

Ketika Pertemanan Itu Putus

Diperbarui: 3 Juni 2024   10:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

@page { size: 8.5in 11in; margin: 0.79in } p { margin-bottom: 0.1in; line-height: 115%; background: transparent }  

Seorang laki-laki tampan duduk di meja di depan kami, sekumpulan perempuan-perempuan jomblo. Bisa ditebak yang terjadi kemudian adalah huru-hara. Beberapa dari kami langsung mengucap ingin menjadikan laki-laki tersebut sebagai pacar. Bahkan kami sudah rebutan mengklaim menjadi yang pertama melihat dia. Konon yang pertama melihat adalah yang paling berhak memiliki. Padahal laki-laki tersebut sudah pasti tidak tahu-menahu apa yang terjadi di antara kami. Lalu seseorang dari kami pun berkata: "Kalau aku sih lebih suka menjadikan cowok itu sebagai sahabat daripada pacar."

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Karena kalau pacar itu bisa putus, sedangkan sahabat itu selamanya."

Alhasil kami semua terdiam. Jawaban teman saya itu ada benarnya. Memang pacaran itu bisa putus, sedangkan persahabatan tidak. Karena saat itu kami belum pernah tahu ada istilah putus persahabatan atau friendship breakup. Maka kami semua pun lalu berkhayal laki-laki itu menjadi sahabat kami. Sungguh naif, dan kejadian itu sudah berlalu bertahun-tahun yang lalu ketika kami masih  SMA.

Apa benar sahabat itu selamanya? Seiring berjalannya waktu, saya pun sadar bahwa di dunia fana ini tidak ada yang abadi, apalagi hanya sekadar pacar dan persahabatan. Pacar bisa putus, lalu menghilang, sahabat pun ternyata demikian, biarpun jarang sekali menjadi isu yang dibicarakan.

Seiring waktu saya juga belajar bahwa sebuah hubungan dalam bentuk apa pun bisa berubah. Dari kecil hingga dewasa, ternyata teman-teman saya datang silih berganti. Terkadang ada yang hilang begitu saja, tanpa sebab yang jelas. Ada yang berpindah tempat, meninggal dunia, bahkan  berbeda pendapat. Intinya, perubahan dalam diri kami menyebabkan sifat pertemanan kami berubah.

Dari sekian banyak teman yang datang dan pergi, ada beberapa orang yang bertahan cukup lama dalam kehidupan saya. Pendapat bahwa jumlah teman akan berkurang ketika usia kita semakin dewasa, benar adanya. Mereka yang bertahan adalah mereka yang berada pada frekuensi yang sama dan bertumbuh pada fase-fase yang sama dengan saya. Meskipun semakin dewasa intensitas pertemanan tidak lagi sama seperti saat remaja, tapi mereka yang tinggal menunjukkan bahwa jalan yang mereka ambil dan lalui masih bersinggungan dengan saya.

Jika dikatakan bahwa pertemanan itu adalah jodoh, bisa jadi benar. Selama kita masih berjalan beriringan di jalan yang sama maka artinya kita masih berjodoh. Ibarat dalam sebuah perjalanan kita mendapat teman yang pergi bersama dari satu terminal ke terminal berikutnya. Lalu pada saatnya teman perjalanan ini akan pergi ke kota yang berbeda, maka dia pun menaiki bus dengan jurusan yang berbeda dengan saya. Seperti itulah pertemanan dalam benak saya.

Pertemanan yang positif adalah yang saling mendukung, saling menguatkan, dan saling mengingatkan. Jika semua faktor itu tidak ada, maka pertemanan itu sudah termasuk tidak sehat, atau istilah kerennya toxic. Namun, percayalah, tidak semua orang memiliki keberuntungan untuk selalu mendapatkan teman yang positif. Karena itu sikap positif memang sebaiknya datang dari diri sendiri bukan pengaruh orang lain.

Ketika akhirnya persahabatan berujung pada perpisahan maka sudah saatnya beranjak ke tahap yang baru dalam kehidupan. Rasa sedih dan sakit hati pasti ada. Bahkan akibat putus pertemanan ini bisa lebih buruk dari putus cinta. Tidak jarang kehilangan pertemanan menyebabkan  depresi, karena seringkali pertemanan membuat kita ketergantungan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline