Oleh: Liza Roza Lina
Tak seperti biasanya aku menerima sebuah kardus yang berisi satu kantong plastik sambal, seikat sayur singkong, dan terung. Kali ini hanya sebuah amplop putih yang dititipkan pada seorang sopir travel.
Aku termangu dan membatu memandang sebuah amplop, tak biasanya ibu mengirimkan hanya sebuah amplop putih polos. Aku langsung masuk kedalam kos dan membuka amplop tersebut. Amplop itu bukan berisi uang, bukan berisi pesan. Entahlah. Hanya secarik kain putih, tak tahu aroma kain itu sangat menyengat. Kain itu membuatku berpikir dan terus berpikir. Setahun terakhir ayah dan ibu sakit-sakitan. Ayah menderita sesak nafas dan ibu sakit lambung atau mag. Keduanya tak bisa lagi bekerja keras. Namun karena keadaan yang memaksa, mereka tetap bekerja seperti biasanya. Hujan, panas, tak tahu apa. Tak ada jalan lain lagi kecuali berladang. Tak tahu umur lagi, rasanya hidup ini kejam. Ingin sekali rasanya lari dari nasib. Namun itu percuma. Aku ingin merubah semua ini, menghapus keringat ibu dan ayah. Tapi kapan? Ini tak bisa ku tonton kan saja. Aku ingin melihat mereka tersenyum seperti orang lain.
Pekan sebelumnya ibu telah mengirimkan uang dan sedikit sambal kesukaan ku. Kali ini aku ingin sekali rasanya mengecap sambal ibu. Tapi kenapa ibu tak mengirim sambal ya? Mungkin ibu sibuk, tidak sempat bikin sambal, sekarang kan musim tanam. Jadi ibu sibuk mengurus benih yang akan di tanam. Biasanya sesibuk apapun ibu pasti membuat sambal untuk ku. Tak apa lah, mungkin ini benar-benar tidak sempat.
Seminggu lagi akan ujian semester, segala sesuatu harus dipersiapkan. Mulai dari tugas akhir, hingga materi untuk di uji harus sudah paham. Tak lama lagi rasanya waktu libur akan datang. Lumayan libur semester genap cukup lama. Bisa bantu-bantu orang tua di kampung. Aku tak seperti mereka, yang bisa bersenang-senang menikmati hari liburnya dengan tenang, berkunjung ke tempat wisata, libur luar daerah bahkan keluar negeri. Aku? Aku mengisi waktu kosong ku pulang ke kampung membantu ibu, turun dan naik gunung yang begitu jauh dari rumah ku. Pergi pagi pulang petang. Namun itu tak pernah membuat ku mengeluh. Selama ini ayah dan ibu tak pernah mengeluh, bahkan mereka selalu semangat meski bermandi keringat dan berjemur di bawah teriknya matahari.
Sudah empat semester aku jalani kuliah ini, namun rasanya belum mampu menghapus keringat ibu dan ayah. Tak ada yang dapat ku berikan kepada mereka. Aku tahu mereka tak berharap lebih dari ku kecuali aku bisa memakai toga nantinya.
Malam pun berlarut aku masih menyelesaikan tugas kuliah untuk dua hari esoknya. Aku tersentak dan langsung terpikir amplop yang dikirim tadi siang. Aku lupa tempat menyimpannya. Ku bongkar buku-buku yang telahtersusun rapi. Namun tak ku temui juga. Ku lihat dilemari baju, ternyata terselip di lipatan baju. Biasanya aku sering menyelip uang atau sesuatu yang berharga lainnya di lipatan baju. Sama seperti ibu ku, yang suka menyimpan sesuatu menurutnya berharga di simpan di lipatan baju, tak tahu entah apalah maknanya mungkin itu menurutnya lebih aman. Namun anehnya, kadang ia sering lupa. Tak ubahnya seperti ku. Pikun.
Ku cium lagi secarik kain putih itu, namun kali ini membuat jantung ku tersentak seolah terbangun dari sebuah lembah hitam. “Apa maksud semua ini?” kataku heran. “ ibu! Ayah! Apa kalian baik-baik saja?” aku menangis tak tahu arah lagi. Mungkin teman-teman se-kos kaget mendengar ku entah bagaimana aku tak pedulikan itu. Ingin ku telpon namun aku tak ada pulsa, hari sudah larut malam. Hati ku gelisah tak menentu. Aku harus menunggu pagi, menanyakan kabar ibu dan ayah.
Lama sekali rasa malam ini, tak seperti malam-malam biasanya. aku harus menunggu benar-benar pagi, hingga matahari sudah mampu memberikan cahaya kuningnya. Aku mulai bergegas menuju sebuah conter tempat pengisian pulsa. Terisi sudah pulsa ku, saatnya aku telpon ibu.
“Ibu, apa ibu baik saja? bagaimana keadaan dirumah bu?” Tanya ku. Namun kali ini bukan suara ibu, tapi suara nenek yang mengangkat handphone-nya. “nak pulang lah, ibumu sakit” jawab nenek ku. “ sakit apa nek?” aku berlari keluar kamar untuk mendengarkan lebih jelas suara nenek yang kedengaran sayu. “ pokoknya kamu harus pulang dulu, ibu mu nyuruh mu pulang.” Mendengar kabar tersebut aku bergegas dan langsung menelpon travel untuk pulang. Jam dua aku berangkat menuju kampung sekitar jam 8 malam sampai di rumah.
Berat sekali rasanya meninggalkan kuliah, namun aku tak tega meninggalkan ibu dalam keadaan sakit. Mengingat waktu ujian yang masih singkat lagi. Aku pulang sebentar untuk menjenguk keadaan ibu. Perasaan tak enak mulai menghantui, sepanjang perjalanan aku berpikir. Biasanya aku tidur dalam perjalanan, tapi kali ini tidak sama sekali. Seperti biasa jika separoh perjalanan sopir berhenti untuk makan. Namun aku tidak mau makan apa-apa. Aku hanya duduk di dalam mobil. Jika aku bertanya keadaan ayah dan ibu, paling aku hanya mendapat jawaban baik-baik saja. Meskipun akhirnya nenek yang memberi tahu ku bahwa mereka sakit. Ibu dan ayah tahu benar aku yang tidak bisa mendengar kabar yang tidak mengenakkan itu. Aku tak tahu entah jantungan atau penyakit apa namanya. Setiap aku mendengar kabar yang tidak enak aku langsung pingsan. Beberapa tahun belakang aku pingsan karena adik ku terluka, padahal itu tidak terlalu parah. Namun aku melihat darahnya langsung pingsan. Sebelum itu, aku juga sering pingsan karena adek ku juga sakit. Seperti itulah aku.
Lama rasanya perjalanan, aku pun sampai di kampung. Namun kali ini beda rasanya. Di halaman rumah banyak sekali orang duduk, ada yang berdiri dan ada yang mutar-mutar tak menentu. Aku mulai bingung, kenapa orang ramai seperti ini. Biasanya ibu memberi tahu ku jika ada acara di rumah. Tapi! Tapi kali ini tidak ada kabar sedikit pun. Yang aku tahu ibu sakit. “Tapi kenapa sebanyak ini orang di depan rumah ku?” aku bertanya-tanya pada sopir, tapi dia hanya terdiam. Aku melihat ayah berdiri di pintu, terlihat matanya yang sembab disinari lampu. Ayah kenapa? Aku langsung berlari ke rumah, dan membawa satu bungkusan yang berisi dua lembar baju batik untuk ayah dan ibu. Selama ini ibu sangat menginginkan baju batik, ketika lebaran atau acara berkumpul keluarga ibu ingin memakai baju batik yang sama dengan ayah. Sudah lama aku ingin membelikan baju untuk ayah dan ibu, namun aku belum mampu menghasilkan uang. Setiap ibu mengirimkan ku uang aku menyisihkannya untuk ditabung. Akhirnya aku bisa membelinya sekarang.
Tepat pukul delapan aku sampai dirumah, aku tanya sama bapak-bapak yang duduk di depan rumah dengan wajah menghiba menatapku. Namun mereka tak memberikan jawaban. Aku tanya sama ayah, bahkan air mata yang dia berikan padaku. Aku berusaha memaknai air mata ayah. “masuklah nak, di dalam ibumu menunggu” kata ayah ku. Aku pun masuk dan berlari, aku melihat ibu sudah terbaring. Diselimuti kain batik biasa. Tak ku lihat wajah ibu. Aku langsung meningkap kain di tubuh ibu. Tak ada denyut, dingin, pucat. Ibuuuu, ibu,,,kenapa ibu? Jangan tinggalkan aku bu! Teriak ku. Ku peluk ibu dan ku cium ibu. Rasanya aku ingin dibalas peluk ibu. Namun tak mungkin lagi. Ku berpikir kapan terakhir aku memeluk ibu, kapan terakhir ku mencium pipi ibu, kapan terakhir ku katakan sayang pada ibu? Kapan terakhir aku minta maaf sama ibu? Kapan?
Tak henti ku menangis, sesak rasanya dada ini. Ingin ku muntahkan semua, ingin ku putar waktu hingga kembali seperti dulu. Tak tahu lagi apa yang ku lakukan. Sejenak rasanya aku tenang, dan tak bisa merasa apa-apa. Jauh lebih tenang, aku berada di peluk ibu. Ibu mengeluskan kepala ku, sangat indah rasanya. Sungguh hangat pelukan ibu. Sesaat ku merasakan itu, ibu menghilang dari dekapan ku. “Sial! Ini hanya sebuah mimpi atau pingsan” kataku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H