Ketangguhan fiskal (fiscal sustainability) sedang menjadi topik diskusi yang intensif dikalangan ekonomi makro baik di negara maju maupun negara berkembang. Pembahasan semakin ramai terutama sejak krisis ekonomi yang terjadi pada 1997 dan berulang lagi tahun 2008. Krisis ekonomi ditandai dengan meningkatnya belanja pemerintah terutama untuk penanggulangan dampak krisis.
Di sisi lain, penerimaan pemerintah mengalami penurunan yang sangat drastis. Keadaan tersebut juga dihadapi oleh Indonesia. Krisis ekonomi telah membuat pemerintah Indonesia terbelit utang yang berat untuk menutup defisit APBN. Utang pemerintah telah bertambah menjadi tiga sampai empat kali lipat dari kondisi sebelum krisis, dan hampir tiga perempat dari pertambahan ini merupakan utang dalam negeri yang harus dibayar untuk restrukturisasi perbankan.
Kewajiban-kewajiban penutupan utang (bunga dan amortisasi) akan melebihi 40 persen dari penerimaan pemerintah selama beberapa tahun, sedangkan kebutuhan pembiayaan baru(baik dari luar maupun dalam negeri) di tahun-tahun mendatang masih tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran. Hal ini akan sangat membatasi ruang gerak fiskal (fiscalspace) pada masa pemerintahan sekarang ini, sehingga telah menggeser permasalahan daristimulus fiskal menjadi sustainabilitas fiskal.
Jumlah nominal utang Indonesia yang besar berakumulasi dari warisan rezim pemerintahan sebelumnya. Jika dilihat ke belakang, sejak rezim Orde Lama, Indonesia telah menggunakan pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan. Utang luar negeri digunakan selama periode pertama tahun 1966 untuk merekonstruksi ekonomi setelah gejolak politik. Setelah itu, rezim Orde Baru memiliki negara donatur tetap yang tergabung dalam IGGI(Intergovernmental Group on Indonesia). Setiap tahun, IGGI menyediakan dana (dari ADB,Bank Dunia, IMF, UNDP, dan beberapa negara maju besar) untuk membiayai belanjapembangunan dirancang dalam anggaran negara.
Selama boom minyak di tahun 1970-an utang luar negeri meningkat pesat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Harga minyak tinggi diikuti oleh utang yang tinggi pula. Sebagai salah satu negara pengekspor minyak (pada waktu itu), Indonesia memiliki windfall profit sebagai semacam jaminan untuk memperoleh pinjaman baru dari negara-negarakreditor. Utang luar negeri dan pendapatan minyak yang tinggi telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada periode itu, tingkat pertumbuhan ekonomi mencatat rekor tertinggi, pada rata-rata 20 persen setahun.
Pada akhir 1980-an dan selama boom ekonomi pada pertengahan 1990-an, utang luar negeri jangka panjang yang dilakukan oleh perusahaan milik negara khususnya dan swasta.Utang pemerintah meningkat karena PERTAMINA sebagian besar diperluas. BULOG mengambil utang luar negeri untuk mewujudkan ketahanan pangan sendiri. Akibatnya, rasio pengembalian utang terhadap ekspor pada akhir 1980-an, naik menjadi rata-rata 40 persen. Pada tahun 1992, IGGI dibubarkan dan diganti menjadi CGI (Consultative Group on Indonesia).
Dalam era reformasi, pemerintah dan DPR membuat keputusan politik yaitu defisit harus dibiayai oleh sumber keuangan domestik. Oleh karena itu, CGI dibubarkan pada tahun 2007. Akibatnya, jumlah stok utang dalam negeri (Surat Berharga Negara) telah melejit hingga sepuluhkali (100 triliun pada tahun 1998 menjadi hampir 1,000 triliun pada tahun 2009). Hanya dalam satu dekade, utang domestik telah lebih tinggi dari utang luar negeri. Akibatnya,bunga utang publik juga meroket. Pembayaran bunga utang dalam negeri pun dua kali lipat lebih besar daripada utang luar negeri.
Sebagian besar utang pemerintah jatuh tempo pada awal tahun 2000. Konsekuensinya, pembayaran suku bunga dan amortisasi menelan porsi sekitar 40 persen dari total pengeluaran APBN. Pengeluaran penting lainnya adalah pendidikan (20 persen) subsidi untuk pupuk danenergi (15 persen) dan transfer ke pemerintah daerah (26 persen). Komposisi pengeluaran diatas, tentu saja, sangat terbatas pada ruang gerak fiskal. Sejalan dengan pemulihan ekonomi yang terus berlangsung, pendapatan nasional mengalami tren pertumbuhan yang mantab (rata-rata 4,5 persen pertahun). Dengan kondisi ini, pada tahun 2000, misalnya, rasio total utang Indonesia mencapai 89 persen dan menurun hingga 32 persenpada tahun 2009.
Dalam hal utang luar negeri, penggeseran beban utang dapat dilakukan melalui penataan ulang (reprofiling), penjadwalan kembali (rescheduling), dan restrukturisasi utang agar bebannya bisa disebar sesuai dengan maturitas jatuh temponya. Beban tersebut perlu diselaraskan pula dengan beban jatuh tempo utang dalam negeri. Rasio utang luar negeri pemerintah memang menunjukkan tren penurunan.
Selain kesinambungan fiskal, pemerintah juga perlu memikirkan kemungkinan bebanfiskal yang lain jika perekonomian mengalami gangguan internal. Aktivitas semi-fiskal (quasifiscal) Bank Indonesia, BUMN, dan BUMD dapat merupakan kewajiban kontingensi jika merekatidak dikelola dengan benar. Keuangan internal Bank Indonesia, BUMN, dan BUMD memangterpisah dari keuangan negara, tetapi aktivitasnya dalam utang dan bisnis juga merupakanpublic and publicly guaranteed dan semi guaranteed karena pemerintah adalah pemilik sahamdan alasan "too big to fail".
Ketangguhan APBN masih sangat rapuh. Kerapuhan ini sangat terkait dengan situasi dan kondisi perekonomian yang akan terjadi. Konsekuensinya, risiko kerapuhan fiskal ini perlu diantisipasi sejak dini. Antisipasi yang bisa ditempuh adalah (jika keputusan politik memang mendukung) dengan menyusun anggaran mengikuti sistem multitahun. Artinya, APBN untuk 3 tahun ke depan, misalnya, ditetapkan pada tahun yang sedang berjalan. Pengalaman Australia, Kanada, Jerman, dan Belanda dalam penyusunan anggaran negara layak menjadi model yang dapat diadopsi pemerintah.