Lihat ke Halaman Asli

Kado Lebaran Terindah dari Menteri Pendidikan

Diperbarui: 25 Juni 2017   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari SD sampai SMA, rumah saya selalu dekat sekolah. Saya nggak perlu naik kendaraan umum & cukup berjalan kaki beberapa menit saja ke sekolah.

Kebetulan SMP & SMA Negeri di lingkungan tempat tinggal saya termasuk sekolah unggulan. Dan NEM saya yang tinggi membuat saya bisa diterima di sekolah tersebut dengan mudah tanpa harus sogok sana sini, sebagaimana yang biasa terjadi pada masa penerimaan murid baru.

Sama seperti saya, saat ini SMP Negeri yang anak saya idam-idamkan juga dekat dengan lingkungan rumah kami di Bali. Selama setahun dia mempersiapkan diri, belajar & menghapal agar bisa mendapat nilai baik dalam UAN. Dan hasilnya sangat memuaskan, dia berhasil mendapat NEM tinggi di sekolahnya.

Tapi apa nasibnya sama seperti saya?
Apa NEM tinggi saja cukup?
Apa rumah kami yang dekat dengan SMP Negeri itu juga sudah cukup?

Hohoho...ternyata tidak semudah itu.

Karena Kartu Keluarga (KK) kami masih Jakarta, kami harus membuat Surat Domisili ke Banjar terlebih dahulu. Dengan pemberitahuan mendadak seperti itu & dengan keadaan saya beserta anak-anak sedang mudik lebaran di Jakarta, maka satu-satunya harapan adalah meminta suami saya untuk mengorbankan pekerjaannya di Bali & mengurus persyaratan tersebut.

Hasilnya?

Untuk membuat Surat Domisili di Bali, ternyata kami harus memiliki rumah terlebih dahulu, bukan dalam kondisi rumah sewa. Dan seandainya kami punya uang beberapa milyar untuk membeli rumah saat itu juga, segala tetek bengek surat menyurat tidak bisa selesai diurus dalam waktu sehari saja...sementara besok, tanggal 24 Juni adalah hari terakhir pendaftaran SMP Negeri.

Pilihan yang tersisa untuk anak saya hanya mendaftar di sekolah swasta di Bali dengan biaya mencekik leher atau sekolah di SMP Negeri di Jakarta, SMP yang sama dengan saya karena KK kami diterbitkan di sana.

Rasanya pedih sekali melihat anak saya menangis merintih-rintih mendengar kenyataan pahit tersebut. Rasanya saya ingin mengerahkan segala cara untuk mewujudkan keinginan anak saya.

Dia merasa sia-sia...menghapal, menghapal, menghapal, menghapal...hanya untuk mengejar nilai supaya bisa masuk SMP impian. Setelah berhasil mendapat NEM tinggipun...ternyata hasilnya tetap mustahil baginya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline