Oleh Liza P Arjanto
Hamparan batu karang terjal yang tersebar di sepanjang bibir pantai seolah benteng magis yang melindungi Turelo dari hempasan gelombang laut. Menciptakan kedamaian dalam birunya langit Tano Niha yang mencumbu laut tepat di garis horison. Kebiruan yang memesona. Runi larut di dalamnya.
Sudah sebulan Runi mendiami pulau terluar dari Sumatra ini. Memandangi kebiruan laut tenang dan berenang terapung di pantai yang tenang membantunya memulihkan keletihan jiwanya.
Runi melangkahkan kakinya hati-hati di atas batu karang. Sesekali ia berjongkok dan mengagumi ikan-ikan laut yang terperangkap batu karang. Terkadang ia merasa senasib dengan ikan-ikan itu. Terperangkap dalam situasi yang tak memungkinkannya untuk kembali dalam kehidupan semula. Namun, bukankah hidup memang selalu penuh jebakan? Runi tersenyum getir.
"Ya'ahowu. Selamat siang." Sebuah suara mengagetkan Runi. Kontan senyum mengembang di bibir Runi melihat gadis yang berkulit gelap yang menyapanya.
"Sina, makan siang apa yang kau bawa kali ini?" Runi melirik ke rantang yang dijinjing Sina, gadis pemilik rumah tempat Runi menginap. Sudah seminggu ini Sina menjadi temannya. Meski usianya jauh di bawah Runi, namun kematangan jiwanya tak kalah dengan Runi. Mungkin terpaan hidup yang keras membuat Sina tumbuh lebih cepat.
" Silio Guro, Kak." Sina tersenyum memamerkan gigi putihnya yang berderet sempurna. Runi mengangkat alis matanya penasaran. Nama makanan itu terdengar asing di telinganya, namun ia tak sabar untuk segera mencobanya. Sina pintar memasak. Selama menginap di rumahnya, Sina memasakkan berbagai jenis makanan yang unik dan asing. Semua makanan itu menumbuhkan selera makannya. Hal yang nyaris tak pernah ia rasakan selama beberapa waktu belakangan ini.
"Tapi kita harus memanggangnya dulu, Kakak." Lagi-lagi Sina tersenyum melihat ketidaksabaran Runi. Ada kebanggaan yang terbit di matanya.
"Mengapa?" Runi melihat bungkusan daun pisang yang masih hijau segar dengan sorot kecewa.
" Udang giling bercampur kelapa dalam bungkusan daun ini akan lebih sedap dimakan panas-panas." Sina mendahui Runi melangkah ke arah sebatang pohon di pantai berpasir putih. Meninggalkan batu-batu karang yang terjal. Runi mengikuti langkah gadis penduduk asli Suku Nias itu.