Banyak dari kita mungkin pernah, termasuk saya pun sebelumnya pernah berpikir bahwa seseorang lahir dengan berbagai bakat yang ia bawa. Faktor keturunan memegang peranan penting dalam menentukan kesuksesan atau keberhasilan seseorang. Bahkan saking apatisnya, saya berulang kali bertanya kepada orang tua, apakah di dalam family tree, ada kakek buyut saya yang pernah menjadi orang berhasil, dan kenyataannya adalah…jeng...jeng…jeng, sama sekali belum pernah ada. Hancur hati berkeping-keping jadinya menerima kenyataan ini, “OMG, I can’t be a successful man, It is going to be hard for me to have a high position and it is useless for me to work hard” bisik saya dalam hati….(lebay.com).
Sampai suatu saat saya menerima email forwardan (Inggrisnya ancur banget dah…) sebuah artikel dari seorang teman melalui salah satu jejaring bisnis sosial, judulnya sih biasa saja..”Becoming a Superstar: It’s Not All About Practice” yang ditulis oleh Sian Beilock, Ph.D, tapi isinya membangkitkan kembali harapan saya yang sudah sempat pupus, sudah sempat meredup sebelumnya, dan mungkin saja dapat membangkitkan harapan saya dan kita semua yang tidak pernah memiliki keturunan yang berhasil, sukses, kaya raya, berpangkat dan bla..bla..bla..bla…
Artikel tersebut mengatakan bahwa perdebatan tentang apakah excellence yang berujung kepada kesuksesan itu merupakan bawaan orok atau karena hasil belajar dan latihan yang terus menerus sebenarnya sudah menjadi perdebatan filsuf-filsuf jaman dahulu kala, tepatnya sejak jaman Yunani Kuno. Perang pendapat antara Plato yang pro atas pendapat biologically endowed abilities and skills dan Aristoteles (katanya muridnya Plato) yang memegang teguh pedapat tentang supremasi Learning and Training dalam menentukan keberhasilan seseorang, terus terbawa sampai sekarang, sampai ke eranya Anders Ericsson dari Universitas Colorado yang berada di pihak Aristoteles atau Petra Wilton dari Chartered Management Institute, yang saya nilai cenderung pro pada pendapat Plato ketikamengatakan “Most people can ride a bicycle, but not everyone can be Olympic winner”. Sebagai salah satu orang yang tidak pernah memiliki keturunan yang sukses, saya mungkin termasuk yang pro pada pendapat Aristoteles. Sebenarnya bukan karena saya “dendam” terhadap masa lalu keluarga saya yang kurang beruntung (he..he..he...hiperbolik aja kok biar agak dramatis), namun dilubuk hati yang paling dalam, saya memang setuju dengan pendapat bahwa kesuksesan atau keberhasilan dikarenakan learning and training yang terus menerus dalam menciptakan excellence seseorang lebih meritokratis dan egaliter.
Berasaskan rasa penasaran saya coba-coba tanya ke mbah google tentang pendapatnya Anders Ericsson tersebut dan akhirnya saya berhasil mendapatkan sebuah jurnal dengan judul “Deliberate practice: Is that all it takes to become an expert?..”. Pada satu bagian dari jurnal tersebut saya mendapatkan kembali informasi yang membuat saya cukup terperanjat, bahwa untuk membuktikan pendapatnya, Anders Ericsson melakukan tes pada beberapa pemain biola di West Berlin Music Academy untuk berlatih dan meminta para peserta tes untuk menghitung jumlah jam latihannya. Hasil tes tersebut kemudian menunjukkan bahwa pemain biola yang masuk kategori “best” melakukan lebih dari 10.000 jam latihan yang terus menerus dan pemain biola yang masuk kategori “good” adalah para pemain biola yang hanya berlatih selama 2.500 jam. Atas dasar hal tersebut dalam jurnalnya yang berjudul “The Role of Deliberate Practice in the Acquisition of Expert Performance. Psychological Review”, halaman 400, Anders Ericsson menyatakan bahwa “the differences between expert erformers and normal adults reflect a life-long period of deliberate effort to improve performance in a specific domain..” atau terjemahan bebas sebebas-bebasnya adalah “bedanya ahli dan orang biasa itu hanya terletak pada usaha yang terus menerus dalam meningkatkan performa pada sebuah bidang kemampuan”(…kira-kira begitulah ya..)
Ketertarikan saya akan hal ini kemudian semakin menjadi-jadi dan kian memuncak (hadeuuh….). Iseng-isenglah saya browsing kembali untuk menjawab satu pertanyaan besar yang ada di kepala saya, yaitu, Jika kemudian masalah ini dibawa ke dalam ranah pekerjaan, kira-kira berapa lamakah seorang pegawai akan menjadi expert pada sebuah bidang kemampuan. Akhirnya pertanyaan itu terjawab setelah saya membaca artikel dari sebuah website yang membuat saya terbelalak (terperanjat…terbelalak…what’s next..he..he..he..), judulnya “office workers productive less than three hours a day”, (wuiidiih..ngeri ngeri sedap bos…). Jadi, artikel tersebut menyatakan bahwa berdasarkan hasil studi kepada 1.989 responden oleh www.vouchercloud.com di Inggris mengungkapkan fakta bahwa 79 % dari responden menyatakan tidak produktif dan secara rata-rata mereka mengakui hanya benar-benar bekerja selama 2 jam 53 menit dalam 1 hari. Yang banyak mereka lakukan adalah checking social media (47%) dan reading news websites (45%) dan waktu yang tersita untuk melakukan hal tersebut hampir 2 jam lamanya dalam 1 hari kerja (ini di Inggris lho…..).
Nah, kembali lagi ke laptop….eh…pembahasan diatas, saya mencoba-coba untuk menarik korelasi, walaupun mungkin korelasinya juga gak nyambung-nyambung amat, tapi paling tidak saya ingin mendapatkan gambaran hubungan antara waktu kerja dan excellence performance. Katakanlah, memang waktu kerja riil adalah 2 jam 53 menit, oke kita bulatkan menjadi 3 jam dalam 1 hari, dan kita bekerja 20 hari dalam 1 bulan, maka dalam 1 bulan riil waktu bekerja adalah selama 60 jam atau 720 jam dalam 1 tahun. Kalau kemudian dihubungkan dengan hasil studinya Anders Ericsson yang menyatakan bahwa untuk mencapai kategori “best” dibutuhkan latihan terus menerus selama 10.000 jam, maka seorang pekerja butuh paling tidak 10.000 jam/720 jam atau 13 tahun 8 bulan untuk mencapai yang namanya excellence performance (wooooooow….aku terhenyak…). Bayangkan saudara- saudara, butuh waktu yang cukup lama bagi seorang pegawai untuk mendapatkan predikat tersebut. Dan itu mungkin fakta yang juga mungkin terjadi pada kita semua termasuk diri saya.
Itu kalo kita bekerjanya sesuai dengan hasil surveynya www.vouchercloud.com ya…, namun akan berbeda tentunya jika yang kita lakukan lebih atau bekerja secara efektif 8 jam per hari. 10.000 jam sebagai parameter untuk memcapai predikat “best” bisa di capai hanya dalam waktu ± 5 tahunan. Anda mungkin kenal, tapi saya pikir enggak kayanya…he..he..he..August Rosenmeier, dia juara FIWC (FIFA Interactive World Cup) 2014 saat berusia 18 tahun. FIWC adalah semacam turnamen Playstation dunia yang berlangsung secara online dan diikuti lebih dari 2 juta peserta. Pada pengakuannya pada dalam sebuah wawancara, ia bercerita sempat dimarahi orang tuanya karena bermain PS 4-6 jam sehari. Bayangkan…4-6 jam sehari. Oke..contohnya mungkin tidak familiar, baiklah…Bagaimana kalau Masahiko Kimura…? Ada yang kenal, …hhmmmm…kayanya enggak juga…Beliau adalah salah satu master Judo dari Jepang. Dilahirkan pada 10 September 1917 di Kumamoto, Jepang. Mendapatkan predikat DAN 2 pada Maret 1933, saat beliau berusia 16 tahun. Hal yang mungkin karena Kimura berlatih 9 jam sehari, ditambah dengan ratusan kali push-up. Pada Juni 1934, ia mendapat DAN 4 setelah mengalahkan 6 lawan (masing-masing merupakan DAN 3 & 4) berturut-turut dan kemudian pada tahun 1935, saat beliau berumur 18 tahun, ia menjadi pemegang DAN 5 termuda setelah mengalahkan 8 lawannya berturut-turut di Kodokan, sampai akhirnya ia mendapakan DAN 7 pada usia 30 tahun.
Nah kalau Jimmy Page,…ada yang tau…?? Gak ada juga??..Ia gitaris band legendaris Led Zeppelin, katanya ia bisa menghabiskan waktu untuk latihan sampai 6 jam sehari. Bahkan Richard Hugh “Ritchie” Blackmore gitaris band Deep Purple (pernah di band Rainbow juga) dan Steve Vai (solois gitar dan pernah menjadi gitaris band Whitesnake) katanya sih berlatih lebih lama dari itu (maaf ya..contohnya old school semua…hehehe..).
Sebenarnya poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa butuh kerja keras dan disiplin tinggi untuk dapat mencapai predikat “best”. Segala sesuatunya sangatlah mungkin untuk kita capai, termasuk keinginan untuk mencapai predikat “best” tersebut dan mengenai cepat atau lambatnya pencapaian sangat bergantung kepada diri kita sendiri. Kuncinya adalah niat dan kesempatan…waspadalah…waspadalah….hehehe…bukan brai…kuncinya adalah komitmen, konsistensi, antusiasme, disiplin dan jangan lupa, senantiasa berdo’a kepada yang Maha Menentukan…Allah Azza Wajalla….Insha Allah kita semua akan sukses.
Salam Sukses…..Tetap Semangat dan ber Hasanah…!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H