Lihat ke Halaman Asli

Bank Syariah, Mau Ngapain di Tahun Kambing?

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Bank Syariah, Mau ngapain di tahun kambing ??

Dengan aset yang naik, oustanding pembiayaan yang juga naik serta total dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun juga mengalami kenaikan, ternyata tidak mampu mendongkrak laba perbankan syariah di Indonesia. Walaupun secara persentase, tingkat profitabilitas naik dari 1.82 % dari tahun 2013 menjadi 2,93% pada September 2014. Ada apa denganmu ?

Secara umum total pembiayaan yang di salurkan oleh perbankan syariah dengan menggunakan angka sementara Statistik Perbankan Indonesia periode September 2014 dan jika kemudian pertumbuhannya diangggap konstan sampai dengan akhir tahun adalah sebesar Rp. 193.983 T, dimana angka tersebut mengalami peningkatan sebesar 5.35 % dari sebesar Rp. 184.120 T pada akhirtahun 2013.

Dana pihak ketiga pun tidak mau ketinggalan, menurut publikasi tersebut, dana pihak ketiga naik sebesar 14.13 % dari Rp. 171.701 T pada akhir tahun 2013, menjadi sebesar Rp. 195.959 T triwulan ke tiga tahun 2014.

Pertumbuhan pembiayaan dan DPK tersebut berperan signifikan dalam mendongkrak perkembangan aset perbankan syariah dari Rp. 242.276 T menjadi sebesar Rp. 252.209 T (exclude BPRS) atau tumbuhsebesar 4.1 % dari tahun sebelumnya.

So why ? jadi mengapa pertumbuhan tersebut ternyata tidak berimplikasi positif terhadap kenaikan laba perbankan syariah secara umum ?

Ternyata tumbuhnya dana pihak ketiga tersebut juga diikuti dengan naiknya komposisi dana mahal (deposito) yang juga ternyata naik sebesar 13.26 % dari sebesarRp. 107.812 T (58.74 % dari total DPK) pada akhir tahun 2013 menjadi sebesar Rp. 122.106 T (62.84 % dari total DPK)pada September 2014.

Pertanyaannya, apakah hal ini juga terjadi pada industri perbankan Indonesia ?. Masih berdasarkan data pada publikasi diatas. Ternyata kondisi yang dialami oleh perbankan syariah berbanding terbalik dengan kinerja industri perbankan di Indonesia, dimana per September 2014, dari Total DPK sebesar Rp. 3.995,803 T, komposisi dana mahal (baik deposito rupiah maupun valas) hanya sebesar Rp. 1.873,224 T (46.88 % dari total DPK). Secara umum naik dari akhir tahun 2013, dimana dari total DPK sebesar Rp. 3.664,968 T, sebanyak 43,78 % adalah depositoRp. 1.604,479 T (rupiah dan valas). Walaupun demikian, persentase dari komposisi deposito industri perbankan Indonesia tersebut, masih lebih kecil dari komposisi dana mahal perbankan syariah.

Angka Non Performing Financing (NPF) perbankan syariah secara umum sendiri, mengalami peningkatan yang cukup mengkhawatirkan dimana pada September 2014, NPF sebesar Rp. 8.890 T (4,58% dari total pembiayaan) atau naiksebesar 84.13 % dari Rp. 4.828 T (2,62 % dari total pembiayaan) pada akhir tahun 2013. Persentase angka NPF per September 2014 tersebut merupakan persentase terbesar sejak tahun 2008 (3.95 %) dan cenderung mengalami kenaikan sejak tahun 2011 (2.52%).

Kedua komponen tersebut memilki kontribusi yang cukup besar dalam menggelembungnyabiaya operasional khususnya pada pos-pos beban pencadangan kerugian atas aktiva produktif dan beban bagi hasil, sehingga secara total, expense mengalami kenaikan. Hal tersebut diindikasikan oeh rasio BOPO Bank Umum Syariah, dimanapersentasenya naik dari 82.16 % padaakhir tahun 2013 menjadi 88.10 % pada September tahun 2014.

Dengan kondisi tersebut, berbekal rasio profitabilitas yang naik menjadi 2.93 % pun, ternyata tak cukup kuat mengangkat bottom line yang akhirnya terpuruk turun makin ke bottom dari sebesar 2.573 T pada tahun 2013 menjadi sebesar 1.045 T (-59.38%) pada september tahun 2014.

What’s goin’ on ?

Dari paparan sederhana diatas, dapat disimpulkan bahwa ada dua hal yang berperan besar dalam menggerus pendapatan yang berujung kepada turunnya laba dari perbankan syariah di Indonesia secara umum, yaitu beban bagi hasil yang tinggi dan membengkaknya biaya aktiva produktif yang diakibatkan oleh menanjaknya angka Non Performing Financing perbankan syariah di Indonesia.

Kesimpulan ini mungkin terlalu dangkal, namun bukan berarti tanpa alasan. Masih berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia periode September 2014, dari Biaya Operasional secara nominatif mengalami kenaikan sebesarRp. 4.271 T. Kenaikan biaya investasi pembukaan outlet-outlet baru sepertinya tidak terlalu signifikan. Hal itu dibuktikan dengan hanya dibukanya 188 outlet baru Bank Umum Syariah dan justru pada Unit Usaha Syariah terdapat pengurangan jumlah outlet sebanyak 149 outlet selama tahun 2014. Dari sisi biaya tenaga kerja, juga relatif tidak tumbuh ekstrim. Selama tahun 2014, pada bank umum syariah hanya terdapat penambahan pegawai sebanyak 385 orang, sedangkan pada unit usaha syariah, jumlah pegawai justru berkurang sebanyak 156 orang. Beban promosi dan pendidikan dan pelatihan pun tidak tumbuh, malah cenderung turun. Pada akhir tahun 2013, beban promosi sebesar Rp. 370 M, sedangkan sampai dengan September tahun 2014, biaya promosi hanya sebesar Rp. 119 M. Begitu pula dengan biaya pendidikan dan pelatihan, pos biaya ini turun dari Rp. 155 M menjadi hanya sebesar Rp. 39 M pada September 2014.

Kembali kepada kesimpulan diatas, tingginya beban bagi hasil tersebut nyatanya tidak dibarengi dengan rate of return penyaluran pembiayaan yang memadai. Masih berdasarkan data dari publikasi Statistik Perbankan Syariah periode September 2014 (angka sementara), didapat fakta bahwa dominasi pembiayaan berakad murabahah di perbankan syariah nasional masih cukup besar, yaitu sebesar59,76 % dari total pembiayaan yang disalurkan. Padahal berdasarkan data yang sama, pada periode yang sama, tingkat margin rata-rata pembiayaan berdasarkan akad murabahah sebesar 13,45 % apalagi kalau kemudian ternyata murabahahnya itu didominasi oleh pembiayaan konsumer yang hanya punya tingkat margin rata-rata 11,06 % (masih berdasarkan data SPSsementara per September 2014, porsi pembiayaan konsumtif di perbankan syariah adalah sebesar 40,8 % dari total pembiayaan atau sebesar 68,27 % dari total pembiayaan berakad murabahah), masih lebih kecil dari pembiayaan mudharabah sebesar 14,13 %. Dengan demikian, selisih antara margin pembiayaan yang disalurkan dengan bagi hasil rata-rata dana mahal yang mencapai 7,42 % (data SPI per September 2014), membuat net interest margin menjadi semakin menipis.

Hal tersebut seperti yang sudah disampaikan diatas, makin diperparah oleh angka NPF yang terus merangkak naik. Pembiayaan konsumer sendiri berdasarkan data publikasi SPS periode September 2014 tersebut, selama tahun 2014 ternyata mengalami pertumbuhan negatif sebesar -1,66 % (Januari berbanding September) sedangkan pembiayaan modal usaha dan investasi justru mengalami kenaikan walaupun tidak terlalu signifikan. Penerapan aturan LTV/FTV (Loan to Value/Financing to Value) secara progresif ditenggarai memiliki peranan besar dalam menghambat laju pertumbuhan pembiayaan konsumtif di perbankan syariah, sementara angka absolut pembiayaan bermasalah cenderung terus naik. Kondisi dimana pertumbuhan pembiayaan konsumer yang negatif, ditambah pertumbuhan pembiayaan produktif yang hanya sebesar5.35 % dan angka absolut NPF yang terus merangkak naik, membuat persentase NPF menjadi semakin menggelembung.

What’s next ?

Kondisi-kondisi tersebut kemungkinan akan semakin diperparah lagi dengan potensi terjadinya cash ouflow akibat dari rencana normalisasi kebijakan di Amerika Serikat dengan rencanamemberlakukan tight money policy seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi disana. Implikasi yang mungkin terjadi dari mebaiknya perekonomian AS adalah peningkatan suku bunga The Fed dari yang saat ini sebesar 0,25 %, diperkirakan naik menjadi 1,375 % (sumber: Media Indonesia tanggal 16 Desember 2014, Mengambil Momentum Pelemahan Rupiah oleh Enny Sri Hartati) pada akhir tahun 2015. Kemungkinan terjadinya cashoutflow cukup besar, dikarenakan menurut rilis pusat data kontan yang bersumber dari Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) Bank Indonesia per 17 Desember 2014, hanya ada 3 (tiga) bank yang saat ini”menyajikan” tingkat suku bunga dollar yang atraktif diatas rencana kenaikan bunga The Fed tersebut, yaitu Bank OCBC NISP Tbk (2.25%/tahun), Bank BNI 1946 (1.43 %/tahun) dan Bank Panin Indonesia (1.38%/tahun).

Beberapa multiplier effect yang mungkin terjadi terutama terhadap perbankan syariah adalah pertama, terjadinya kekurangan likuiditas di Indonesia yang kemungkinan juga akan memicu naiknya suku bunga acuan Bank Indonesia, yang mau tidak mau memaksa perbankan di Indonesia ikut beradaptasi. Kalau sudah begitu, maka cost of fund perbankan syariah, yang juga merupakan bagian darisistem perekonomian Indonesia, akan ikut beradaptasi. Jika yang dilakukan oleh perbankan syariah di Indonesia adalah dengan cara meningkatkan equivalent rate bagi hasil, dan ternyata masih juga mengandalkan pembiayaan berakad murabahah dalam menyalurkan dana pihak ketiganya, kemungkinan besar spread margin akan semakin tipis setipis kulit ari.

Kedua, berlakunya hukum pasar supply and demand, dimana ketika tingkat permintaan akan mata uang dollar tinggi, sedangkan penawaran/supply atas dollar terbatas, maka scarcity atas dollar tersebut akan memicu kenaikan nilai tukar dollar. Ketika hal ini yang terjadi, rupiah akan kian terdepresiasi, beberapa sektor ekonomi akan terdampak, terutama sekali dengan sektor ekonomi yang berorientasi dan memiliki konten impor yang cukup tinggi. Ketika beberapa sektor ekonomi terdampak, terutama yang memiliki muatan impor yang cukup besar, dapat dipastikan kondisi finansial dari perusahaan yang bermain di dalam sektor-sektor tersebut akan ikut memburuk dan akan berdampak pada kualitas pembiayaan, -asumsi perusahaan tersebut memiliki pembiayaan di bank syariah-, dan jika ini yang benar-benar terjadi, maka otomatis angka non performing financing akan kian meroket dan terus menerus membebani dan mengabrasi pendapatan.

Ketiga, naiknya harga BBM pada akhir tahun 2014 akan semakin menurunkan daya beli masyarakat. Dampaknya tentu akan berimplikasi kepada dunia perbankan secara keseluruhan, termasuk perbankan syariah. Naiknya suku bunga dan turunnya daya beli diperkirakan akan memperlambat pertumbuhan pembiayaan di perbankan syariah.

What to do ?

Menyikapi kondisi global yang uncontrolable tersebut, sebaiknya perbankan syariah Indonesia harus sudah mengambil ancang-ancang dan strategi yang tepat. Beberapa hal yang mungkin dapat dijadikan preferensi dalam mengambil strategi tersebut adalah:


  • Ada baiknya perbankan syariah mulai melakukan mapping atas sektor-sektor ekonomi mana sajakah yang memiliki dampak langsung terhadap terdepresiasinya mata uang rupiah terhadap dollar yang terus menerus dan berusaha untuk menahan diri dulu sementara sampai dengan kondisi ekonomi cukup kondusif bagi sektor ekonomi yang berkonten impor tinggi
  • Tetap melakukan ekspansi pembiayaan baik produktif maupun konsumer,dan mungkin sementara ini dapat semakin serius menggarap sektor konsumer(terutama properti) yang menurut data publikasi memiliki angka NPF yang lebih baik dibanding pembiayaan produktif (Modal usaha dan investasi). Namun demikian yang tetap perlu diperhatikan adalah sumber repayment capacity dari end user, baik besaran (purchasing power) maupun stabilitasnya. Sektor ekonomi perusahaan sangat berperan terhadap stabilitas pendapatan dari end user.
  • Mulai ”menganggap serius” penjual produk cash atau wealth management yang dapat berperan besar dalam membengkakkan pundi-pundi perbankan syariah dari sisi fee based income. Trade finance juga dapat dijadikan alternatif yang cukup baik untuk dikembangkan dalam kondisi yang cenderung semakin sulit ini
  • Mengembangkan produk pembiayaan yang tidak melulu murabahah (fix installment) dan sejenisnya saja untuk "mensiasati" fluktuasi ekonomi

  • Meningkatkan layanan perbankan baik dari sisi produk maupun teknis pelayanan itu sendiri untuk meningkatkan customer loyalty ketimbang harus ikut berkompetisi pada medan low fare yang cenderung ”red ocean area”.
  • Mengembangkan dan membenahi sistem risk control, guna menekan angka pembiayaan bermasalah. Untuk yang satu ini, saya ingat satu analaogi, bahwa ketika anda akan membeli kendaraan, baik roda 2 maupun roda empat, ada satu fungsi yang harus anda pastikan berjalan dengan baik, yaitu pedal rem, karena percuma mesin kendaraannya bagus, body kendaraannya nya kenceng, kecepatannya fantastis, namun tidak didukung oleh pedal rem yang bekerja dengan baik.

Salam Sukses…..Tetap Semangat dan ber Hasanah…!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline