Lihat ke Halaman Asli

Livia TejaLaksmana

Mahasiswa Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta

Dari Sampah Timbul Penyakit, Ciptakan Yogyakarta Bebas Sampah

Diperbarui: 26 Juni 2019   08:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kota Yogyakarta merupakan kota yang tergolong nyaman sebagai tempat tinggal maupun tujuan destinasi wisata bagi para wisatawan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta jumlah penduduk di Kota Yogyakarta meningkat setiap tahunnya dan mencapai angka 3.720.912 jiwa pada tahun 2016. Terjadinya peningkatan jumlah penduduk di kota Yogyakarta ini diikuti dengan pertambahan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kota Yogyakarta. Buku Statistik Kepariwisataan DIY tahun 2017 mencatat bahwa jumlah wisatawan yang menggunakan jasa menginap di hotel Kota Yogyakarta pada tahun 2017 mencapai angka 5.229.298 jiwa.

Pertambahan jumlah penduduk maupun jumlah wisatawan yang berkunjung di kota Yogyakarta ini berpengaruh terhadap peningkatan jumlah sampah yang dihasilkan. Sampah-sampah yang dihasilkan tersebut perlu diolah untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Oleh karenanya di setiap daerah, termasuk Kota Yogyakarta memiliki Tempat Pembuangan Akhir (TPA) untuk menampung dan mengelola sampah hasil kegiatan penduduk setempat. Salah satu TPA yang terdapat di Yogyakarta ialah TPA Piyungan. TPA yang berlokasi di Dusun Ngablak, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul ini merupakan tempat penampungan dan pengelolaan sampah yang berasal dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul.

Berdasarkan penelitian Aria Nugrahadi (2014) mengenai evaluasi kebijakan dan strategi pengelolaan sampah di kawasan perkotaan Yogyakarta, TPA Piyungan memiliki kapasitas yang mampu menampung 2,7 juta meter kubik sampah. Sedangkan penelitian yang dilakukan Ariyani et al, (2018) menyatakan bahwa sampah yang dibuang ke TPA Piyungan setiap harinya berkisar 450 ton dengan dominasi sampah organik sebesar 72%. Dalam kegiatan pengelolaan sampah pada TPA Piyungan digunakan metode Controlled Landfill, yaitu sampah yang berasal dari berbagai tempat ditampung kemudian diratakan dan dipadatkan. Setelah diratakan dan dipadatkan, sampah-sampah tersebut akan dilapisi dengan tanah diatasnya. Pada sistem Controlled Landfill umumnya terdapat saluran drainase untuk mengendalikan air hujan. Dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan sampah di TPA Piyungan terdapat beberapa permasalahan yang terjadi yaitu kurang maksimalnya pengolahan yang dilakukan serta fasilitas untuk kegiatan pengelolaan yang tergolong belum cukup memadai. Dermaga sampah yang sempit maupun terjadinya kerusakan jalan menuju TPA Piyungan yang digunakan sebagai sarana lalu lintas truk pembawa sampah mengakibatkan sampah-sampah yang dibuang menumpuk hingga tepi jalan. Saluran air atau drainase yang ada seakan tidak berfungsi akibat tertutup oleh tumpukan sampah. Hal ini menyebabkan jalanan menjadi becek dan kotor ketika musim penghujan tiba.  

Proses pengolahan sampah di TPA Piyungan akan menghasilkan lindi yaitu limbah cair yang timbul akibat peristiwa terlarutnya materi-materi pada timbunan sampah oleh air. Lindi mengandung zat-zat kimia berbahaya, logam berat, dan zat beracun lainnya. Menurut Kasam (2011), air lindi yang dihasilkan dari degradasi sampah dimungkinkan dapat bergerak melalui pori-pori tanah dan selanjutnya bercampur dengan air tanah, air permukaan, air hujan, maupun sumber air lainnya sehingga menyebabkan bahan pencemar terpapar ke lingkungan sekitar TPA Piyungan. Ketika air yang telah tercemar air lindi tersebut dikonsumsi atau dimanfaatkan untuk penggunaan lainnya oleh manusia maka dapat mengakibatkan gangguan kesehatan bagi penggunannya. Selain itu, jika air yang membawa material-material serta zat-zat kimia yang ada pada tumpukan sampah TPA Piyungan masuk ke badan sungai dapat menyebabkan efek negatif terhadap hewan maupun tumbuhan yang hidup di dalam maupun di sekitar sungai tersebut. Resiko yang mungkin terjadi ialah berkurangnya keanekaragaman jenis organisme, terjadinya akumulasi logam berat pada organisme yang ada, maupun menurunnya kemampuan metabolisme organisme tersebut.

Pencemaran lain yang mungkin terjadi akibat penumpukan sampah ialah pencemaran udara. Sampah-sampah yang ditumpuk akan menimbulkan bau tidak sedap serta debu-debu yang berterbangan. Bau tak sedap ini mengundang berbagai macam hewan penyebab penyakit seperti lalat, nyamuk, belatung, kecoa dan serangga-serangga lainnya. Pengaruh kesehatan yang mungkin dirasakan oleh warga sekitar maupun pemulung yang melakukan kegiatan di TPA Piyungan ialah gangguan pernafasan, batuk-batuk, gatal-gatal, ataupun alergi pada kulit. Bau yang tidak sedap juga dapat mengganggu aktivitas masyarakat sekitar sehingga masyarakat sekitar tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan nyaman.

Keberadaan sampah yang semakin lama semakin menggunung serta menyebabkan polusi udara maupun polusi air memaksakan pencarian solusi untuk mengurangi jumlah sampah tersebut. Salah satu solusi yang dirasa mampu mengurangi sampah di TPA Piyungan ialah dengan penggembalaan hewan ternak. Sampah yang ada pada TPA Piyungan terdiri atas sampah organik maupun anorganik. Sampah-sampah organik berupa sampah daun, sisa makanan, sisa buah, serta sisa sayuran merupakan bahan pakan ternak yang potensial. Selain untuk mengurangi jumlah tumpukan sampah pada TPA Piyungan, penggembalaan sapi ini dilakukan dengan alasan ongkos pakan sampah yang gratis sehingga dianggap dapat meningkatkan derajat hidup warga sekitar TPA. Namun di samping keuntungan yang dijanjikan dari kegiatan ternak sapi di TPA Piyungan, terdapat resiko yang cukup tinggi bagi kesehatan ternak yang ada pada TPA Piyungan tersebut maupun manusia yang mungkin mengonsumsi daging dari ternak tersebut. Sampah yang menjadi pakan ternak merupakan sampah yang telah bercampur dengan sampah-sampah anorganik serta sampah-sampah yang telah membusuk sehingga jenis-jenis sampah yang seharusnya bukan menjadi pakan ternak sering ikut terkonsumsi oleh sapi pada TPA Piyungan. Hal ini membahayakan bagi kesehatan ternak tersebut sebab sampah yang dimakan dimungkinkan mengandung racun, logam berat, ataupun material lainnya.

Meskipun sapi yang berasal dari TPA Piyungan tidak direkomendasikan untuk dikonsumsi, namun masih saja terjadi penjualan sapi TPA Piyungan untuk kegiatan konsumsi maupun hewan kurban. Ketika sapi yang dipelihara di TPA Piyungan dijadikan sebagai hewan kurban atau ditujukan untuk konsumsi manusia maka racun, logam berat, material-material, kuman serta bakteri yang ada pada sapi tersebut dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan manusia. Efek langsung yang dimungkinkan dapat terjadi ialah keracunan disertai muntah ataupun diare. Sedangkan efek jangka panjang yang dimungkinkan terjadi ialah akumulasi logam berat pada tubuh yang dapat menyebabkan gangguan pada tubuh tergantung pada jenis logam berat dan bagian tubuh mana yang mengikat logam berat tersebut. Dalam penelitiannya, Nusa Idaman Said (2010) menyatakan beberapa contoh gangguan tubuh akibat akumulasi logam berat ialah gangguan ginjal, kanker kulit, kanker paru-paru, gangguan kesehatan tulang, muntaber, hingga terjadi kematian jika logam berat yang terakumulasi pada tubuh sudah berada dalam dosis yang sangat tinggi.

Melihat dampak negatif jangka pendek maupun jangka panjang dari penumpukan sampah baik dari segi polusi udara, polusi air maupun akumulasi senyawa-senyawa kimia pada hewan ternak TPA Piyungan maka dibutuhkan solusi lain dalam penanggulangan penumpukan sampah yang terjadi di TPA Piyungan. Kegiatan pengelolaan sampah dan penanggulangan masalah di TPA Piyungan sebaiknya melibatkan kerja sama dengan pihak pemerintah. Peran pemerintah yang dapat dilakukan berupa dukungan dalam perbaikan fasilitas untuk memperlancar kegiatan pengelolaan sampah seperti perbaikan saluran air atau drainase maupun perbaikan jalan sebagai sarana lalu lintas truk pengangkut sampah yang ada pada TPA Piyungan. Selain itu, pihak pemerintah dapat membantu dalam kegiatan monitoring atau mengontrol jumlah sampah yang ditampung, monitoring kegiatan pengelolaan sampah pada TPA Piyungan, monitoring dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, serta monitoring terhadap kegiatan penggembalaan hewan ternak sehingga hewan ternak tidak digunakan untuk konsumsi ataupun jika akan digunakan untuk konsumsi dapat dipastikan terlebih dahulu segi keamanan maupun kelayakan konsumsinya.

Di samping peran pemerintah yang sangat penting, dukungan dari masyarakat sekitar juga sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan penanggulangan masalah yang terjadi akibat penumpukan sampah berlebih. Masyarakat sekitar diharapkan turut menjaga kebersihan lingkungan sekitar TPA Piyungan, menghindari penjualan hewan ternak ataupun menyeleksi hewan ternak pada TPA Piyungan yang akan dijual, tidak menghalangi serta dapat memberi dukungan terhadap kegiatan pemerintah maupun pengelola TPA Piyungan dalam proses pengelolaan sampah yang ada. Penduduk kota Yogyakarta maupun wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta diharapkan mampu mengurangi kegiatan yang menghasilkan sampah berlebih. Setiap individu harus sadar akan dampak yang terjadi apabila sampah kian lama kian menumpuk. Mengurangi sampah dapat dilakukan dari hal sederhana hingga hal yang lebih kompleks yaitu dengan menghindari penggunaan alat sekali pakai seperti peralatan makan yang terbuat dari kertas, plastik, ataupun styrofoam, menghindari penggunaan tas belanja berupa plastik, penerapan 3R (Reuse, Reduce, Recycle), serta pemanfaatan sampah menjadi sumber energi seperti bahan bakar diesel, biogas, dan lain sebagainya.

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline