Seperti yang kita semua tahu, sebuah negara dapat menjadi maju tergantung dari warganya juga. Kita ambil contoh satu kota di Indonesia yaitu Jakarta. Dimana segala kesibukan dan aktifitas sangat sibuk dan terkadang kejam. [caption id="attachment_187580" align="aligncenter" width="550" caption="Penampakan Megah Jakarta di malam hari"][/caption] Terlihat dari foto di atas, sebenarnya secara visual, sudah cukup terlihat megah dan bahkan maju. Namun sebenarnya apakah warganya benar-benar tergolong maju? Jawabannya tidak, tapi juga bukan sama sekali. Dapat terlihat dari sisi bagaimana warganya yang kebanyakan masih tergolong belum dapat mengatur waktu dengan benar. Saya sendiri melihat kenyataan itu dari angkutan yang paling sering dan paling padat arusnya, yakni Busway. Pada halte - halte Busway, terutama pada interchange-nya. Kita dapat melihat banyak orang masih belum dapat mengatur waktu dengan baik, seperti ocehan - ocehan "Bisa telat nih", "Tidak dapat tempat duduk nih", "Jangan dorong - dorong donk". Mengapa saya bilang belum bisa mengatur waktu ? Kata - kata seperti ini tidak sepantasnya diucapkan apabila orang tersebut sudah paham waktu yang tepat untuk berangkat kerja. Saya sudah terbiasa bepergian ke beberapa negara maju dan juga ayah saya menceritakan beberapa hal juga ketika beliau ke Amerika. Di Singapura, MRT sudah terbiasa pada saat jam kerja, kereta penuh, berdesak - desakan. Namun mereka toh tidak mengoceh layaknya warga Jakarta. Namun saya tidak menyebutkan bahwa tidak ada sama sekali warga Singapura yang berperilaku "terbelakang". Karena beberapa generasi mereka yang baru sudah memahami dan memiliki prinsip baru yang artinya "tidak mau mengalah" Apakah maksudnya ? Negara Singapura sendiri beberapa waktu lalu mengalami kendala pada sisi ketenaga kerjaannya yang (sebagian besar) perusahaan di sana lebih suka merekrut warga negara asing (WNA) sebagai pekerjanya dimana mereka lebih disiplin waktu dan (umumnya) mau dibayar rendah. Dan pemerintah Singapura pun menindak ini dan membatasi perekrutan WNA, sehingga warganya pun menjadi bersemangat untuk bersaing dengan pekerja pendatang itu. Namun ketika saya menilai Jakarta, tidak seperti itu sebagian warganya. Mereka lebih suka menggunakan jalur mudah sebagai alternatif cara merendahkan pekerja pendatang atau lebih berkarya. Cara mudah apakah yang biasa digunakan warga Jakarta, khususnya kaum - kaum rendahan ? Mereka lebih suka melalui jalur kotor dengan menghancurkan materi yang dimiliki pekerja pendatang atau WNA. Disinilah alasannya mengapa warga Indonesia belum dapat menjadi negara maju. Pikiran mereka lebih ke arah "hukum rimba" ketimbang berusaha bersaing. Tapi apakah memang harus demikian ? Dan seterusnya harus selalu begitu ? Apakah kita sebagai warga Indonesia mau terus - terusan di cap "Negara Berkembang" ? Sekali lagi ini hanyalah opini semata. Dan tidak 100% sifat kedua negara yang saya sebutkan sesuai dengan tulisan pada artikel ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H