Mahabharata. Ketika mendengar kata tersebut, yang terlintas di pikiran sebagian besar orang mungkin hanyalah cerita kuno dari India, atau sinetron yang pernah berjaya di salah satu stasiun TV swasta. Akan tetapi, jika kita memandang Mahabharata dari perspektif sastra, dapat dipastikan kita akan tercengang dengan cerita, konflik, serta penokohan yang begitu apik.
Saya pribadi ketika menikmati epos Mahabharata yang dibukukan oleh Nyoman, S. Pendit sangat terhipnotis dengan cerita yang sudah lawas namun masih tampak segar. Apalagi, setiap BAB disajikan dengan ringkas namun padat, sehingga esensi dari ceritanya betul-betul didapatkan secara utuh.
Hal yang paling saya soroti ketika membaca Mahabharata ini adalah banyaknya nilai-nilai pendidikan karakter yang sangat adiluhung. Hebatnya, nilai adiluhung tersebut bukan hanya terdapat pada tokoh yang protagonis, tetapi antagonis jua. Hal tersebut tentu sangat sulit dipikirkan oleh penulis hebat sekali pun.
Saya bahkan berani mengatakan bahwa Mahabharata merupakan karya sastra lama yang sangat sarat akan nilai-nilai pendidikan karakter, yang dapat diadopsi dan diimplementasikan dalam setiap diri manusia. Kisahnya yang indah dan mudah dipahami menjadikan Mahabharata sangat digemari masyarakat dan menghasilkan inspirasi dalam berbagai bidang, mulai dari pemerintahan, kemasyarakatan, hukum, etika, hingga karya sastra dan seni rupa
Kemarin, setelah membaca untuk yang kesekian kalinya saya banyak belajar kejujuran dari tokoh Syakuntala. Karena, ya kita tahu sendiri, di era sekarang kejujuran adalah barang langka. Syakuntala adalah istri Raja Dushmanta. Ia mendatangi Raja untuk meminta pertanggungjawaban. Tapi raja terus mengingkari kebenaran. Peristiwa ini ada pada kutipan:
"Syakuntala pun berkata sambil memandang Raja dengan tajam, "Dengarlah, wahai Tuanku. Hanya orang rendah budi yang dengan mudah berdusta dan ingkar janji.Hamba yakin dalam hati Paduka pasti mengakui kebenaran kata-kata hamba. Tetapi, mengapa Paduka memilih berdusta, berkata tak ernah mengenal hamba, tak pernah menikahi hamba? Hati nurani adalah saksi dari kebenaran dan kepalsuan." (Pendit, 2003: 33-34).
Pada kutipan tersebut Syakuntala mengingatkan raja bahwa hanya orang yang rendah budi yang mudah berdusta, menyukai kebohongan, tidak mengakui kebenaran, dan tidak mau berkata jujur. Sebagai seorang Raja tidak seharusnya Raja melakukan hal tersebut. Peringatan yang diberikan Syakuntala ini mengajarkan sebuah nilai kejujuran untuk selalu menjunjung tinggi nilai kebenaran, Karena, orang yang jujur pastilah memiliki budi yang luhur sehingga tidak mau ingkar pada kebenaran.
Bisa dilihat bagaimana jika sikap yang ditunjukkan Syakuntala itu bisa kita implementasikan dalam kehidupan-sehari. Damai sudah dunia ini. Ya, ini lah sastra sungguhan. Selain menggugah rasa dengan estetika yang dihadirkan, namun tak lupa juga menggugah batin manusia melalui nilai-nilai moral yang disampaikan.