Luana.
Tadi malam, saya melihat kamu memasukkan mimpi seluas Angkasa ke dalam ransel kecilmu. “A, hari ini mimpi saya berwarna ungu pastel,” ucapmu ketika hendak melipat mimpi. Mimpimu terlalu berat, tali ransel sampai hampir putus ketika kamu mencoba menggendong ranselmu yang sudah diisi mimpi. Namun kamu berusaha keras terlihat tidak keberatan, padahal tulang punggungmu sakit.
Kamu berusaha keras terlihat baik-baik saja, padahal bagian bawah matamu hitam akibat kurang tidur. Selama ini, apabila ada yang bertanya ada apa, kamu selalu bilang tidak bisa tidur. Padahal kamu merajut mimpi setiap malam. Kamu lelah, Luana.
“Mengapa ungu pastel?” tanya saya.
“Agar berpadu cantik dengan biru muda Angkasa,” jawabmu. Kemudian matamu berkaca-kaca. Mungkin kamu terharu membayangkan cantiknya perpaduan warna biru muda dan ungu pastel kelak, atau justru kamu menangisi usaha besarmu untuk terbang ke Angkasa yang jauhnya bukan main, yang tidak pernah berhasil sejak kehidupanmu sebelum yang sekarang. Atau, bisa jadi alasannya sesederhana kamu sebenarnya tidak suka warna ungu pastel. Kamu suka warna hitam, Luana.
***
“Istirahat dulu?” tanya saya. Namun kamu tidak menghentikan langkah. Peluhmu bercucuran, dan sudah bercampur dengan air matamu. Saya tahu kamu tidak akan berhenti melangkah hingga menemukan gunung tertinggi di alam semesta. Gunung yang katanya dapat mempertemukanmu dengan Angkasa jika kamu berdiri di puncaknya.
“Hei A, lihat! Ada balon udara!” serumu tiba-tiba. Wajahmu mendadak cerah. Kemudian kamu masuk ke dalam balon udara dan menerbangkannya.
“A! Kita semakin dekat ke Angkasa!” kamu terlihat sangat bahagia.
Balon udaramu terbang tinggi, Luana. Ia bertambah tinggi seiring dengan bertambah besarnya harapanmu. Namun sayang, tak lama kemudian balonmu jatuh ke tanah. Tiba-tiba ada hujan paku bertubi-tubi dari Angkasa.
Kamu tertusuk paku, Luana. Darahmu bercucuran. Kamu kesakitan, saya tahu. Namun kamu masih berusaha terlihat baik-baik saja.