Lihat ke Halaman Asli

Livia Halim

TERVERIFIKASI

Surrealist

Minum dari Cangkir Angkasa

Diperbarui: 10 Januari 2016   13:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari itu saya mendapati Angkasa menangis. Rupanya Vena pergi, atau mati, saya tidak tahu, meski saya berharap yang ke dua. Tangannya bergetar, sambil menggenggam secangkir teh panas. Titik-titik air matanya jatuh ke dalam teh, dan ia meminumnya sendiri.

“Air matanya untuk apa? Agar tehnya manis? Atau agar tehnya menjelma menjadi ramuan yang bisa memanggil Vena kembali?” tanya saya ragu-ragu.

Angkasa memandang saya dengan tatapan kosong. Mungkin ia merasa tersindir, atau sedih, entahlah. Yang pasti Angkasa diam, tampaknya ia tidak mau bicara dengan saya. Maka saya juga diam, dan pergi, meski dalam hati mengutuki Vena mati-matian

Saya tahu apa yang paling Angkasa kagumi dari Vena, rambut panjangnya yang sepinggang. Warna rambut Vena hitam pekat, cantik sekali. Sama pekatnya dengan mata bundarnya, dan sayangnya sama pekatnya juga dengan hatinya.

Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak sebelum pulang ke rumah. Saya menghentikan langkah ketika membaca sebuah iklan yang tertulis di pintu kaca sebuah toko, “DIJUAL: syampo pemanjang rambut, bisa memanjangkan rambut dengan cepat”. Saya pun masuk ke toko itu, mengambil sebotol syampo pemanjang rambut itu, kemudian membelinya.

Beberapa hari setelah mencoba syampo itu, saya bertanya kepada seorang kawan apakah ada perpanjangan signifikan dari rambut saya yang selama ini panjangnya tidak pernah melebihi bahu. Ia berkata tidak ada. Maka saya memutuskan akan meminum syampo ajaib itu. Saya pernah mendengar bahwa segala sesuatu lebih baik jika ditanamkan dari dalam.

Saya sendiri penasaran, seperti apa rasanya jika beberapa tetes syampo pemanjang rambut dicampurkan ke dalam teh panas. Rasanya pasti tidak akan semanis ramuan air mata Angkasa, namun apa salahnya jika rambut saya bisa bertambah panjang sampai sepinggang kelak. Mungkin kelak Angkasa akan berhenti menangis. Mungkin kelak Angkasa mau berbagi tehnya dengan saya, mungkin kelak teh Angkasa yang kami minum bersama tidak bercampur dengan air matanya, melainkan air mata Vena.

***

Saya memutuskan untuk menghampiri Angkasa pada suatu sore. Saya membawa serta syampo pemanjang rambut dan secangkir teh panas. Angkasa sedang duduk menikmati tehnya ketika ia menyadari keberadaan saya.

“Luana?” sapanya spontan ketika melihat saya.

Angkasa tidak lagi menangis. Matanya kering. Namun saya bisa mendengar suara tetes-tetes air mata di bagian lain dalam dirinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline