Lihat ke Halaman Asli

Livia Halim

TERVERIFIKASI

Surrealist

Cerpen: Merangkak ke Saku Angkasa

Diperbarui: 29 November 2015   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya rasa mata saya benci saya. Sepasang makhluk kecil itu kerap kali enggan menyelimuti diri pada malam hari. Saya kerap kali menyelimuti diri dahulu agar mereka menyelimuti diri juga, namun  mereka berontak. Saya tidak bisa berkomunikasi dengan mereka, namun saya tahu terkadang mereka ingin bertamasya ke masa lalumu, Angkasa.

Saya selalu mampu bertamasya ke masa lalu saya sendiri dengan mudahnya. Masa lalu saya hadir dalam serangkaian kenangan, mengalun bersama dengan senandung-senandung yang pernah menemani saya kala hari masih pagi, tercium dalam aroma pakaian-pakaian lama. Tapi masa lalumu? Tak sedikitpun saya tahu. Saya tidak pernah berada di sana, meski saya berharap sebaliknya.

Suatu malam saya bermimpi mata kanan saya merangkak keluar dari cangkangnya.

“Luana, kapan kita mau bertamasya ke masa lalu Angkasa?” tanya mata kanan saya sambil menyeruput segelas es jeruk. Ah, rupanya ia kelelahan selama ini, es jeruk memang menyegarkan dan cocok dijadikan kawan kala bersantai.

“Bagaimana bisa?” saya tertawa. Namun tawa saya tidak berlangsung lama, karena selanjutnya saya melihat kamu, dan mata saya sudah kembali ke tempatnya.

Saya melihat kamu di sana, kamu dengan postur yang lebih kecil, bukan kamu yang saya kenal sekarang namun saya tahu itu kamu. Kamu berdiri tegap membawa segala pesonamu. Jika pesona itu dapat disusun menjadi sebuah tugas sekolah, saya bisa jadi mendapatkan nilai A. A untuk keindahannya, untuk kerapihannya, untuk daya tariknya.

“Di mana saya tepatnya?” tanya saya pada mata.

“Masa lalu Angkasa, kira-kira lima tahun yang lalu,” jawabnya.

“Saya tidak tahu kamu bisa menghitung tahun.”

“Saya pikir kamu yang tidak bisa. Buktinya satu tahun terakhir ini kamu tidak beranjak sedikitpun dari tempatmu untuk menanti Angkasa. Entah mengapa saya melihatmu melupakan waktu kala menanti Angkasa. Padahal biasanya, kamu paling benci menunggu.”

Terlalu banyak orang di sini. Mereka semua berteriak menyerukan namamu. Mereka tampaknya memakai pakaian terbaik mereka. Mereka tertawa bersamamu, menyirami tubuh mereka dengan aliran senandung yang kamu bawakan. Saya terdiam mematung, sambil mengutuki diri sendiri yang lima tahun lalu terbutakan oleh pesona lain yang tak nyata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline