Lihat ke Halaman Asli

Livia Halim

TERVERIFIKASI

Surrealist

Cerpen: Sepercik Luka di Lantai Tempat Kita Pernah Menari

Diperbarui: 24 November 2015   23:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

“Mengapa kamu sering terluka akhir-akhir ini? Apa karena kurang tidur, lantas jadi kurang fokus dan sering jatuh tersandung?” tanya Mala, kawan saya, pada suatu siang.

“Kamu tidak mengenal luka sebagaimana saya mengenalnya, Mala,” jawab saya sambil memandang ke matanya. Ia terlihat bingung. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kamu perlu lebih banyak istirahat, Kiran,” ujarnya kemudian.

Saya hanya termenung. Akhir-akhir ini saya memang sering luka, anehnya bukan darah yang mengalir keluar dari luka-luka ini, tapi percikan cahaya berwarna-warni. Apakah kamu sebingung Mala? Ah, biar saya kisahkan semuanya dari awal pada kamu, karena saya yakin luka ini juga bukan luka yang kamu kenal.

Mala adalah teman saya sejak kami kecil. Rumah kami berdekatan dan saya sering bersantai di rumahnya. Suatu kali, Mala bercerita bahwa ia meminta tolong kepada seorang teman yang baru dikenalnya di komunitas seninya, untuk melukis lantai ruang serba guna di rumahnya. “Ruang serba guna” ini adalah sebuah ruangan kosong di rumah Mala yang tidak jelas kegunaannya. Waktu kecil, kami sering memakainya untuk latihan menari bersama. Mala mengajak saya untuk datang berkunjung dan berkenalan dengan sang pelukis ruang serba guna.

Hari pertama saya melihat sang pelukis, saya memberinya sebutan Pijar. ‘Pijar’ karena ia lebih berpijar daripada… ah, sangat sulit membandingkannya dengan apapun. Buat saya, ia jauh melebihi pijaran apapun.

“Dia akan rutin datang ke rumah saya seminggu sekali, setiap malam Senin, untuk melukis lantai tempat kita menari dulu, Kiran,” ujar Mala dengan antusias.

“Saya juga akan datang setiap Senin malam. Saya ingin melihat sang pelukis menyalakan pijarnya,” ucap saya cepat. Mala hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia senang karena saya juga tampak antusias.

Lantas, begitulah, saya ada di rumah Mala setiap Senin malam, menonton Pijar melukis lantai. Pijar jarang mengajak saya berbicara. Terkadang ia hanya menoleh pada saya untuk tersenyum. Sebuah senyum formalitas baginya, sebuah senyum paling berpijar yang pernah mata saya rekam. Pembicaraan kami hanya basa-basi keseharian, saya menikmati setiap detiknya meski saya tau Pijar tidak. Bagi Pijar, saya semata-mata hanya “teman Mala”.

Pijar melukis tuts-tuts piano di atas lantai tempat saya dan Mala menari dahulu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline