This is my first on kompasiana, kulo nuwun sama para sesepuh yang lebih dulu eksis di kompasiana. Mau share nih tentang salah satu museum di Jogja yang orang lokal sendiri nggak banyak tahu. Kebanyakan pengunjung memang berasal dari luar Jogja dan luar Indonesia. Mau tahu uniknya museum ini? Let's check this one out! Kalau dilihat dari namanya seperti bukan dari Jawa, malah agak sedikit berbau luar Jawa. Padahal ini adalah tempat unik di Jogja. Ya, jogja, nggak nyangka kan? Ullen Sentalu adalah sebuah museum seni budaya Jawa yang terletak di daerah wisata Kaliurang tepatnya di jalan Boyong. Tempatnya memang agak nyempil, tapi hal itu justru membuatnya eksklusif dan unik. Awalnya saya tahu museum ini dari adek tingkat yang saat itu mengajak jalan-jalan ke sana tapi malah nggak kesampaian, dan baru hari ini akhirnya berhasil berkunjung ke sana. Kalau kita membayangkan museum seperti ruangan tua dengan pintu kayu yang kapuk, anda benar. Museum ini dari luar tampak seperti rumah nenek sihir tua di cerita Hans and Gretel. Tapi jangan salah, suasana di dalamnya benar-benar berbeda. Museum ini terdiri dari beberapa ruangan utama yang terletak di tengah-tengah hutan buatan kecil. Pokoknya bener-bener serasa di hutan tropis. Tour guide saya, mbak menik, membawa saya memasuki lorong panjang yang berujung di sebuah ruangan berisi gamelan dan beberapa lukisan wanita sedang menari. Dari mbak menik saya tahu bahwa museum ini adalah museum keluarga dari Siti Nurul Kusuma Wardhani (kebetulan nama belakangnya sama....he he). Ullen sentalu sendiri ternyata merupakan singkatan dari ULating bLENcong SEjatiNe TAtaraning LUmaku. Agak maksa sih, tapi nama ini punya nilai filosofi yang intinya, lentera dan cahaya kehidupan penunjuk jalan. Museum ini bisa dibilang cukup baru yakni diresmikan pada tahun 1997 oleh Paku Alaman VIII. Namanya juga museum keluarga, isinya ya seputar keluarganya Bu Siti Nurul Kusuma Wardhani. Dan ternyata beliau ini masih hidup lho... sekarang berumur 89 tahun. Semua ruangan bercerita tentang silsilah keluarga Kerajaan Mataram yang bertahan sampai sekarang, mulai dari Paku Alaman, kasultanan Ngayogyakarta, Mangkunegaran dan kasultanan Surakarta. Lengkap. Bahkan ada lukisan 3D Ratu Kencono yang kalau diliatin matanya serasa ngikutin kita. Di museum ini ada ruangan khusus untuk Ibu Siti Nurul Kusuma Wardhani yang berisi dokumentasi ketika kecil hingga dewasa dan menikah. Ibu yang satu ini punya julukan Putri dambaan karena memang jadi primadona para laki-laki kerajaan saat itu termasuk Bung Karno. Hmm.... tapi beliau tidak mau menikah dengan pria yang menganut aliran poligami. Ups.... dan akhirnya beliau menambatkan hidupnya pada seorang TNI bernama pak ....(maaf saya lupa) di usia 30 tahun. Hmm...Perempuan yang berprinsip. Di samping itu ada banyak arca yang disimpan di museum ini, salah satunya arca Ganesha. Ada beberapa fakta yang agak-agak gimana gitu tentang keluarga kerajaan ini. Pertama, saya baru tahu kalau seorang raja itu boleh memiliki 4 permaisuri (kata mbak Menik ini sama seperti aturan poligami dalam Islam maksimal 4 istri) tapi boleh memiliki selir sebanyak-banyaknya. Bahkan ada raja yang memiliki 18 selir. Ck ck ck....Dalam budaya Jawa ternyata ada aturan dalam pemakaian perhiasan, termasuk cincin. Cincin tidak boleh dipasang di jari tengah karena jari tengah adalah jari tertinggi yang menandakan kita tidak boleh mendahului kuasaNya. Cincin yang dipasang di jari manis melambangkan kelemahlembutan, jari kelingking melambangkan ketrampilan, untuk telunjuk dan ibu jari saya lupa. Dan banyak lagi fakta lain yang berbau-bau klenik seperti tari bedoyo,dan sejenisnya. Kurang lebih 50 menit Mbak Menik menemani saya berkeliling Ullen Sentalu. Di akhir tur saya mendapat minuman tradisional yang dikenal dengan sebutan Rengganis drunk, karena minuman ini berasal dari resep khusus yang dibuat putri Rengganis dan konon katanya bikin awet muda. Rasanya mirip sinom tapi tawar. Ada bau bau jahenya juga. Lucu. Well then, museum Ullen Sentalu benar-benar melambangkan kekuasaan dan keperkasaan keluarga kerajaan Mataram yang masih eksis hingga saat ini. Kerajaan ini banyak mengambil Islam sebagai acuan dan pedoman, namun sayangnya hanya sebagai simbol bukan benar-benar menjadi pedoman hidup mereka. Tradisi kerajaan banyak diwarnai dengan teori-teori mistik yang mungkin berasal dari kerajaan Hindu Budha sebelumnya. Di museum ini pula saya jadi tahu kalau keluarga kerajaan sangat dekat sekali hubungannya dengan Belanda kala itu. Mungkin itu sebabnya tidak banyak pahlawan nasional yang lahir dari keluarga kerajaan. Ongkos masuk ke museum ini lumayan menguras kantong 'mahasiswa'; untuk wisatawan domestik kita bisa masuk dengan tiket seharga 25 ribu, berbeda dengan wisatawan asing harga tiketnya naik jadi dua kali lipat jadi 50 ribu. Saya belum sempat berkunjung ke sana lagi pascaerupsi Merapi, namun kabarnya museum ini masih tetap berdiri. Hmm.... sepertinya perlu mengadakan rencana perjalanan ke sana. Semoga info tadi bisa membantu teman-teman dalam menemukan refrensi tempat wisata di Jogjakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H