Baiklah. Aku sangat tidak mengharapkan kemarin menjadi pertemuan terakhirku dengan Mia dan bukan berarti hari ini aku harus memutuskan pacar manjaku, Milana. Aku tidak sejahat itu. Aku hanya berusaha mencoba menelusuri jejak hatiku. Pada siapa aku akan menyerahkan segenap hatiku dan ketulusan yang akan aku jaga sampai rambut ini memutih dan tanah menjadi tempat peristirahatanku.
Hey, kenapa kau tertawa mendengarku berkata seperti itu? Jangan asal menuduhku sebagai lelaki yang suka mempermainkan cinta. Bukan salahku jika Milana tergila-gila padaku dan bukan salahku juga jika aku masih menyimpan perasaan yang begitu dalam kepada Mia.
Kau tau apa tentang aku ? Keluargaku ? Kau hanya tau soal kak Ing yang aku ceritakan sebelumnya. Kau bahkan tak pernah tau bagaimana kisah masa lalu ku. Bagaimana ibu ku berjuang untuk menyekolahkan aku, membuat aku pintar daripada diri ibu sendiri ? Kau tak tau kan bahwa aku dan kak Ing dulu sempat jualan koran di lampu merah di depan sana itu ? Kau juga tak tau kan kadang untuk makan pun ibu tak peduli. Ibu hanya memikirkan aku dan kak Ing. Dan apakah kau tau, Mia. Hanya Mia lah yang senantiasa berada disampingku saat itu. Mia bukanlah anak dari keluarga sangat kaya. Tapi Mia seringkali menyisihkan uang jajannya untuk membelikanku makanan saat kelas istirahat dan aku hanya bisa diam tanpa ada satupun teman yang mengajakku bermain. Mia yang seringkali mengajariku beberapa pelajaran yang belum aku mengerti. Ya, Mia sang bintang kelas itu. Mia yang rendah hati namun tetap memilihku disampingnya walau teman-teman yang lain seakan ingin menendangku dari sekolah itu.
Oke. Aku akan bercerita sedikit tentang keluargaku.
Awalnya, Ayah dan Ibuku hidup dengan bahagia hampir tanpa cacat. Ayah sangat mencintai Ibu dan Ibu pun sangat mencintai Ayah. Kami berempat selalu bersama. Setiap akhir minggu Ayah pasti mengajak kami sekeluarga untuk berekreasi bersama-sama. Kami suka tertawa bersama, Aku sangat suka melihat Ayah dan Ibu saat memasak di dapur rumah kecil kami. Ayah akan menggoreng atau menumis, aku dan kak Ing akan sibuk melempar-lempar sayuran ke panci, lalu Ibu akan mengiris bumbu-bumbu dapur yang sebelumnya di cuci dan dipercikkan ke wajah Ayah. Ayah yang selalu bersikap sok jago dalam goreng-menggoreng akan mengejar Ibu yang telah berhasil membuat Ayah basah. Aku dan Kak Ing akan mengejar Ayah. Lalu saat semua tertangkap kami akan saling kelitik dan Ayah mengambil selang air lalu membuat kami mandi bersama di pekarangan belakang rumah. Acara masakpun jadi tertunda sebentar, tapi sungguh aku sangat merindukan hal itu. Hal yang sudah terjadi hampir 20 tahun itu, bahkan saat itu kak Ing baru duduk di kelas 1 SD.
Kemudian tiba-tiba semua berubah..
Pada pagi hari di saat kami masih mempersiapkan acara masak bersama kami. Tiba-tiba tawa kami terhenti karena ketukan pintu dari depan rumah. Aku, Kak Ing, Ibu ataupun Ayah sama sekali tak menyadarinya sama sekali akan petaka yang mengintip dari cela-cela pintu rumah kami.
"Tok.. Tok.. Permisi.."
"Tok.. Tok.. Permisi.."
"Yaa.. bentar.."
Ayah langsung terburu-buru membuka pintu yang diketuk dengan tak sabaran itu.