Berada di kaki gunung Wilis di ujung selatan Kabupaten Kediri, menjadikan penulis sedikit mengetahui panorama hutan di perbukitan lereng gunung Wilis. Berbagai jenis pohon, dan perubahan komoditas tanamannya kuat menancap dalam ingatan penulis. Sepanjang mata memandang yang nampak adalah pepohonan dengan ragam jenis kayunya.
Hutan hijau, kayu-kayu besar memadati lereng gunung. Di sela-sela rimbunnya pepohonan di situlah terdapat perkampungan yang hanya dihuni beberapa keluarga saja. Meski wilayahnya dapat dikatakan luas namun beberapa rumah yang ada, hidup dengan bergerombol, lima sampai sepuluh rumah kemudian dipisahkan oleh perkebunan penduduk di sekitar lereng gunung.
Di lereng gunung nampak berbagai jenis pohon yang rimbun. Daunnya lebat, dan jumlahnya banyak. Masih banyak dijumpai pepohonan yang menjulang tinggi batangnya dan menghujam dalam akarnya. Masih banyak pohon jenis jati, mahoni dan sengon maupun pohon jenis yang lain.
Saking banyaknya pohon seolah seseorang tidak akan khawatir jika ingin membangun rumah dengan mengandalkan kayu lokal sebagai penopangnya. Mendapati kayu yang sudah berumur dan siap digunakan teramat mudah. Pun juga kalau ingin memilih jenis kayunya, melimpah ruah.
Kekayaan alam dengan ragam pepohonan di atas didapati kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Pohon yang bejibun. Hutan yang rindang, sebagaimana hutan pada umumnya masih memesona di tahun-tahun itu. Namun kini setelah dua puluhan tahun lereng gunung sudah berubah.
Dulu yang mudah dijumpai pepohonan rindang kini berubah menjadi lahan perkebunan dengan komoditas tebu. Pohon jati, mahoni, dan sengon yang dulunya lebat kini sudah semakin langka dijumpai. Kalaupun ada jumlahnya kian sedikit dan umurnya pun masih belasan tahun.
Kenyataan ini jauh berbeda sebelum dua puluh tahun yang lalu sebagaimana ilustrasi penulis di atas. Sepanjang mata memandang kini yang ada adalah perkebunan tebu. Semula pepohonan yang hijau diganti dengan tanaman tebu.
Kian kemari masyarakat semakin sadar secara ekonomi bahwa tebu lebih cepat untuk diperoleh hasilnya dari pada kayu. Tanaman tebu lebih cepat menghasilkan uang tanpa harus menunggu berpuluh tahun untuk memanen. Masa tanam hingga panen yang begitu singkat membuat penduduk di lereng gunung menggantikan pepohonan menjadi perkebunan tebu.
Kesadaran ekonomis penduduk yang begitu tinggi, baik memiliki sisi positif di satu sisi. Perekonomian penduduk terdongkrak. Pendapatan hasil kebun pun meningkat dan berlipat. Namun demikian dengan bergantinya komoditas tanaman menyisakan kekhawatiran.
Penulis memandang bahwa dengan minimnya pepohonan tanah menjadi gembur. Sehingga tidak menutup kemungkinan tanah semakin mudah mengalami longsor. Terlebih di wilayah perbukitan.
Belum lagi jika air hujan yang deras pasti tidak akan ada pepohonan besar yang menyerap air dengan cepat, sehingga banjir pun siap menghampiri sewaktu-waktu. Belum lagi ancaman kekeringan disebabkan mata air yang kian menipis juga kelak menjadi pemikiran tersendiri.