Semakin mendekati tanggal 10 April semakin banyak manuver di permukaan berita yang sengaja di pasang untuk memberikan pencitraan kepada para calon pemimpin bangsa. Mulai dengan atas nama koalisi, sharing kekuasaan hingga kata "poros" terus di munculkan oleh media yang sudah tidak lagi mempunyai independensi terhadap kiblat politik. Media yang menjadi 'corong' partai kini menjelma menjadi "tools" untuk melakukan kritisi terhadap setiap calon yang bukan dari pihaknya.
Sosok Jokowi yang populer di masyarakat akibat dari pencitraan yang di lakukannya dengan kekuatan finansial yang di isunya didukung oleh pengusaha hitam keturunan Tionghoa dan negeri Barat beraliran liberal memanfaatkan kendaraan PDIP yang di kenal dengan partai wong cilik untuk maju menjadi calon presiden Indonesia tahun 2014 - 2019 dengan meninggalkan sumpah jabatan 5 tahunnya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sementara Prabowo Subianto yang mempunyai latar belakang kelam sebagai militer yang di dukung oleh kekuatan finansial dari bisnis di Rusia dan Timur Tengah membangun kendaraan politiknya melalui Partai Gerindra yang di kenal dengan partai komando dimana tidak mengenal kata musyarawah di tingkat bawah.
Jokowi yang hingga saat ini masih terus di hantui oleh kasus korupsi di Solo (data dari LSM Mega Bintang) dan kasus TransJakarta saat menjadi gubernur tidak lagi malu malu untuk menggunakan waktu kerjanya untuk melakukan lobby kepada semua tokoh nasional dan partai politik untuk mendukung pencalonannya.
Prabowo yang secara jelas telah di hukum atas kejahatan penculikan aktifis dan tidak pantas untuk disebut sebagai purnawirawan justru dengan percaya diri maju untuk menjadi calon presiden dan tidak lagi sungkan untuk menyerang calon lainnya secara membabi-buta.
Penulis melihat ada kejanggalan dari pencalonan kedua tokoh ini karena masing-masing masih punya tanggungjawab yang perlu di bersihkan di pengadilan. Tetapi realitas masyarakat yang sudah di butakan oleh kekuatan media dan pembentukan opini dari media sosial hingga gerakan masif di bawah membuat Indonesia tidak lagi mempunyai tokoh lain yang dapat menggantikannya.
Wiranto, Mahfud MD, Yusril Ihza M, Anies Baswedan, Gita Wiryawan sepertinya telah di telan bumi dan tidak lagi menjadi sentral diskusi para media apalagi di beritakan. Padahal jika kita tilik secara akademisi mereka adalah para cendikiawan pendidikan dengan gelar S-3 yang secara dejure bisa menjawab tantangan masa depan Indonesia yang akan bersaing dengan negara dan bangsa lain di dunia. Sayangnya kekuatan "one man one vote" dimana tingkat pendidikan bangsa yang masih di bawah rata-rata tidak akan membuat orang orang ini bisa maju menjadi pemimpin.
Masyarakat lebih memilih tokoh-tokoh kontroversi yang selalu tampil dengan pencitraannya baik iklan, berita hingga agenda yang telah di atur dengan kesan natural. Cara berpikir seperti ini akan terus menutupi setiap calon pemimpin yang maju dan akan terus di "pelihara" oleh bangsa lain yang merasa terancam jika Indonesia bisa bersaing dengan mereka. Semoga kali ini ada jalan keluar dari permasalahan ini. - Tabik-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H