Lihat ke Halaman Asli

Fact Checker UI

UKM Fact Checker Universitas Indonesia

Attention Economy: Cabang Akar dari Disinformasi di Era Digitalisasi

Diperbarui: 19 April 2023   15:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok Fact Checker UI

“Sampailah kita pada akhirnya, menciptakan emas dari ketiadaan." - Feast

Penggalan lirik dari lagu Komodifikasi dari Feast. memiliki makna yang menarik bagi penulis.  Pada dasarnya, keuntungan selalu dicari dan dikejar oleh seluruh manusia. Kini, pencarian akan keuntungan tersebut semakin beragam caranya. Misalnya, angka-angka atau tingkat engagement media sosial yang dimiliki seseorang—dan itu merupakan hal yang tidak berwujud atau intangible—bisa menciptakan suatu keuntungan dengan mudah. 

Sadarkah kalian bahwa, pada era digitalisasi ini, keuntungan sangat mudah untuk dihasilkan? Pemikiran yang seringkali muncul saat kita melihat para influencer membuat konten dan mendapatkan keuntungan darinya. Tidak hanya itu, berbagai media jurnalistik dan perusahaan yang memiliki periklanan sebagai jasanya memiliki keuntungan yang besar pada era ini. Fenomena ini dapat ditilik melalui perspektif ekonomi dengan memperhitungkan suatu ‘perhatian’ menjadi sebuah komoditas.

Mahalnya Suatu Atensi pada Masa Kini

Ilmu ekonomi hadir sebagai metode atau cara kita dalam mengelola sumber daya yang terbatas (Mankiw, 2018). Keterbatasan itulah yang membuat kelangkaan menjadi poin utama yang dikaji oleh para ekonom. Suatu hal yang terklasifikasi sebagai sesuatu yang langka akan memiliki ‘harga’ yang mahal untuk mendapatkannya. Apabila kita berhasil memilikinya, maka keuntungannya pastilah sepadan dengan ‘harga’-nya. Dalam konteks tulisan ini, ‘perhatian’-lah yang menjadi suatu hal yang langka untuk didapatkan. 

Perhatian adalah sebuah “emas” baru pada era digitalisasi ini. Tentunya, terlalu banyak informasi yang berterbangan bebas di dunia maya yang amat luas ini (digital content boom) menjadi pemicu gagasan itu hadir. Kita pastinya telah sadar bahwa kita tidak dapat menaruh perhatian kita untuk semua informasi tersebut—munculnya seleksi pada diri kita dalam menentukan apa yang kita perhatikan. Peraih nobel ekonomi Herbert Simon (1971) pun menyatakan bahwa kehadiran informasi telah mengonsumsi perhatian kita, dan semakin berlimpahnya informasi menyebabkan perhatian kian terbatas pula. Terbatasnya perhatian itu menjadi topik ekonomi yang lebih dikenal sebagai attention economy. 

Pada konsep attention economy, individu atau badan tertentu akan menjadi attention-seeker yang memiliki motif untuk menghasilkan keuntungan—biasanya akan berupa uang. Mereka akan berupaya untuk merebut sebanyak mungkin fokus kita kepada mereka. Dalam ekonomi digital, pendapatan adalah fungsi dari perhatian konsumen yang berkelanjutan—terdapat repetisi yang diukur dalam klik dan waktu yang dihabiskan. 

Inovasi yang ‘Kelewatan’ 

Mari kita lihat dari sudut pandang para attention-seeker. Para individu dan badan saling berkompetisi untuk mendapatkan suatu ‘perhatian’ karena keberadaannya yang menjadi sumber daya yang langka. Kompetisi yang terbentuk melahirkan berbagai inovasi berupa berbagai strategi untuk mendapatkan perhatian publik demi keuntungan mereka masing-masing. 

Suka atau tidak, kita telah berpartisipasi sebagai pemain di dalam konsep attention economy setiap hari. Alat yang kita gunakan untuk bekerja, belajar, dan bermain—Google, Facebook, Instagram, YouTube, TikTok, Twitter dan banyak lagi—diibaratkan sebuah mesin kasir yang menunggu untuk melakukan penjualan. Sayangnya, industri multi-triliun dolar yang memanen perhatian kita masih berpotensi melakukan aksi moral hazard—lunturnya suatu integrasi/karakter dan memicu kerugian secara signifikan dengan penurunan kurasi konten negatif. 

Perlu kita pahami bahwa teknologi yang digunakan industri tersebut didesain untuk menjadi sesuatu yang addictive untuk kita. Lalu, industri tersebut tidak jarang membuat dan menyebarkan informasi yang menarik, bahkan disinformasi—penyebaran konten palsu/tidak benar dengan sengaja—, pada platform ini demi menggaet perhatian kita. Tidak hanya itu, eksploitasi informasi pribadi konsumen dari platform tersebut yang dilakukan industri tersebut dapat pula terjadi. Eksploitasi tersebut sering terjadi dengan motif untuk mencocokan target pasar attention-seeker demi memaksimalkan keuntungan mereka. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline