Gunung Bromo dan Gunung Rinjani. Keduanya sudah pernah saya kunjungi, dan menurut saya sangat indah. Tahun 2010 saya pergi bersama dengan mama mendatangi surga bagi pelancong pecinta alam, Lombok. Tempat dimana jika ingin memanjakan mata melihat laut, indah. Jika ingin melihat gunung pun indah. Jalan2 yang saya lalui pun sangat memanjakan mata. Belum lagi makanannya, yapp sangat cocok di lidah. 5 hari stay tidak cukup untuk menjelajah seisi pulau. Walaupun tidak sampai dipuncak, tetapi kami sampai berada di air terjun kaki gunung rinjani. Bahkan belum sampai di puncak saya sudah membayangkan keindahan jika kami berada dipuncak. Sayangnya saya bersama seorang ibu, jadi cukup dengan motor sewaan kami pun turun, mengejar malam.
Bromo pun juga suatu tempat yang menurut saya sangat indah. Baru berkunjung kesana belum lama ini sehingga pesonanya masih sangat segar di pikiran. Walaupun dengan karakteristik “less effort” untuk sampai kesana. Tetapi merupakan surga bagi para pengejar sunrise untuk mengembil gambar. 3 “effort” yang harus saya hadapi saat di Bromo adalah rasa dingin menusuk karena suhu rendah di musim panas, Penuh-penuhan untuk mendapatkan tempat ter-pewe dalam mengambil gambar diantara orang-orang yang berdesakan, Serta bau yang menyengat akibat kotoran sang kuda poni nan cantik yang dijajakan penduduk lokal. Kuda poni ini dijadikan sebagai alat transportasi atau hanya sekedar pemanis foto para turis, tentunya dengan tarif. Tidak jarang saya menemui bahasa yang beraneka rupa di tempat ini. Sekilas saya bisa mendengar bahasa prancis, jepang dan korea di tengah kerumunan. Rupanya keelokan bromo telah tersebar hingga penjuru dunia.
Saya pun terpana dengan segala pemandangan yang tersaji. Gumuk pagi luas yang terkenal disebut pasir berbisik. Berterima kasih pada Dian sastro dan kru yang mempopulerkan nama tempat ini berdasarkan judul filmnya. Gunung beserta kawahnya, saya sangat suka dengan kontur gunung yang sangat jelas tanpa tertutup rumput. Pikiran saya langsung melayang ke mata kuliah sedimentasi pembentukan batuan yang baru saja saya ambil. Menjadi “sok tahu” dengan menerka-nerka batuan apa saja yang terbentuk dan komposisinya. Kemudian terdapat padang teletubies berupa padang savanna luas yang hanya berisikan rumput dan tumbuhan bertubuh rendah. Menurut saya sangat indah dan manis. Level saya dalam menilai suatu tempat layak dijadikan a place to go adalah pada saat saya berjanji dalam hati untuk akan kembali lagi ke tempat tersebut. Mengeksplore spot yang belum sempat dikunjungi atau kembali ke tempat yang sama. Dan ya, I had wished to go to both places in another time.
Tetapi sontak saya miris dengan pemberitaanterkini.Padang savanna Bromo dan Rinjani terbakar. Belum jelas penyebabnya apakah akibat cuaca panas ataukah akibat perbuatan manusia yang lalai dengan membiarkan nyala api dari puntung rokok atau sisa pembakaran saat camping. Saya pernah berbincang dengan teman saya yang bekerja di Stasiun Meteorologi Selaparang , Lombok. Dia bercerita tentang memang seringnya terjadinya kebakaran tiba-tiba di wilayah pegunungan Lombok. Terlebih pada saat musim kemarau. Menurutnya adanya pergesekan kolom udara panas yang terjadi di wilayah pegunungan menyebabkan timbulnya api. Rumput savanna kering sangat mudah terbakar. Sehingga pada saat adanya pergesekan kolom udara tersebut, api sangat mudah menyebar. Mungkin begitu pula yang terjadi di Bromo. Ini bencana yang disebabkan oleh alam. Seperti gempa bumi dan kejadian alam lainnya, kita tidak dapat berbuat apa-apa pada saat sudah waktunya terjadi.
Di lain pihak ada yang berpendapat bahwa kebakaran ini disebabkan ulah para pendaki yang membuang puntung rokok sembarangan, ataupun adanya sisa pembakaran api unggun yang dibuat untuk menghangatkan badan di malam hari. Alasan ini tidak dapat disangkal. Belum lama ini saya mendaki ke Gunung Prau di Dieng Plateu. Jarak tempuh pendakian terbilang pendek, hanya 3 jam. Saat itu bertepatan dengan adanya festival kebudayaan Dieng. Yaitu festival pemotongan rambut anak gimbal yang dilakukan setiap tahun. Akibat adanya acara tersebut, jumlah pendaki membludak. Berdasarkan orang yang berjaga di pos pendakian jumlah pendaki yang akan naik ke gunung tersebut berjumlah ribuan orang. Saya sudah bisa membayangkan puncak gunung tersebut akan lebih terlihat seperti Pondok Perkemahan Pramuka Cibubur.Sesuai dengan perkiraan sesampai di puncak banyak saya temui kemah-kemah berjejer. Banyak pula yang membuat api unggun untuk sekedar menghangatkan badan, karena waktu itu tengah malam di musim panas. Udara sangat dingin hingga mencapai suhu minus. Dan di depan mata saya sendiri saya mendapati bekas puntung rokok yang masih menyala. Sayang saya tidak mendokumentasikannya. Inilah bukti bahwa adanya kelalaian dari para pendaki yang mengaku pecinta alam tetapi kelakuannya malahan merusak alam. Belum lagi jika bercerita tentang sampah yang berserakan di sekitar kemah. Sangat tidak bertanggung jawab. Dengan cepat saya matikan api si puntung rokok sebelum membakar padang savanna sekitar.
Efek dari kabar terbakarnya Rinjani menyebabkan rencana saya untuk mendaki gunung tersebut akhir tahun ini harus dipikirkan lebih dalam. Terlebih jika benar akan terjadinya elnino di Indonesia, maka cuaca akan kemarau berkepanjangan. Sehingga potensi kebakaran akibat pergesekan udara panas akan lebih besar walaupun di bulan desember yang notabenenya musim hujan. Secara pribadi saya kesulitan untuk memprediksi cuaca. Tidak seperti saya kecil dulu yang selalu diajarkannya cara mudah mengetahui musim hujan adalah bulan yang ujungnya “….ber..ber…ber”. layaknya suara hujan deras yang “berrr….”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H