Tanjung Sakti, tidak hanya kaya dengan peninggalan zaman batu besar (megalitikum), Kabupaten Lahat tepatnya di kecamatan Tanjung Sakti, merupakan pusat sejarah perkembangan agama Katolik di Sumatera Selatan. Tanjung Sakti merupakan pusat penyebaran agama Khatolik di Sumsel pada zaman kolonial. Buktinya, sampai saat ini masih berdiri kokoh dua gereja tertua di Sumsel, di Desa Pajar Bulan dan Pagar Jati, Kecamatan Tanjung Sakti Pumi, yang didirikan tahun 1932, yang belum mengalami banyak perubahan. Namun, dibalik bangunan mega tersebut, tersimpan cerita pilu pembantaian jemaat Katolik pada masa penjajahan Jepang (Nippon).
Tentara Jepang menuding, jemaat Tanjung Sakti merupakan antek Bendala yang lebih dulu menjajah Indonesia. Sehingga hampir seluruh umat Khatolik dibantai saat itu. "Kalau berdasarkan sejarah, Tanjung Sakti ini rencananya mau dijadikan pusat pemerintahan Bendala. Tahun 1900 saja, penganut Khatolik disini sudah 500 orang, sedangkan Palembang hanya 80 orang, itupun merupakan orang Eropa. Bahkan, di wilayah Manna, berbatasan langsung dengan Tanjung Sakti, sudah ada Injil diterjemakan dalam bahasa daerah. Saat Jepang masuk terjadilah pembantaian disini," jelas Romo Titus seorang pemimipin Gereja Santo Mekael, Desa Pajar Bulan, beberapa waktu lalu.
Sampai saat ini, ungkap Titus, hanya beberapa meter dari bangunan gereja, masih terdapat sisa pembantaian dan makam-makam korban pembantaian, termasuk makam Pastur Van Camvel, merupakan Pastur pertama yang masuk Sumsel. Sedangkan wilayah penyebaran Khatolik dimulai dari Padang Sumbar, dilanjutkan ke wilayah Bengkulu, kemudian ke Tanjung Sakti. "Rencananya Tanjung Sakti ini mau pusat, karena waktu itu perkembangan begitu pesat disini. Kalau sekarang jumlah jemaat kita sekitar 400 orang lagi, itu pun sudah menyebar di Tanjung Sakti Pumi dan Pumu," katanya.
Berbagai peninggalan zaman penjajahan, seperti piano, buku dan makam-makam tua masih terawat dengan baik. Disisi lain, Titur mengaku, toleransi antar umat di wilayah Tanjung Sakti sangat tinggi. Hal ini telah terjadi sejak zaman penjajahan sampai saat ini. "Berbagai pertimbangan menjadikan Tanjung Sakti sebagai pusat sangat banyak, disini toleransi sangat tinggi. Ada Khatolik yang ninggal, umat muslim pasti datang begitu juga sebaliknya," ungkap Romo Titus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H