Deklarasi Penulis Pemilu Damai, ikrar ini ucapkan secara bersama-sama oleh 30 penulis di Santika Hotel Premier, Slipi Jakarta Barat (17/02/2019). Deklarasi yang di gagas oleh Kang Pepih Nugraha ini sebagai implementasi atas banyaknya berita-berita yang tersebar di media sosial melalui jejaring internet.
Tidak dipungkiri bahwa berita yang tersebar kemasyarakat ada yang tidak benar ada juga yang mengiring orang untuk menjadikan berita itu benar, berita bohong yang diulang terus menerus menjadikan berita tersebut menjadi benar, bahkan membuat kekacauan dengan hadirnya berita tersebut.
Untuk itu Kang Pepih yang juga founder Pepnews.com mengumpulkan berbagai penulis dari berbagai seperti Narablog, Penulis Media Massa, atau Penulis lepas baik yang berdomisili Jabodetabek, Pulau Jawa maupun Luar Pula Jawa untuk bersatu mengikrarkan segala hal bentuk Intoleransi, radikalisme dan terorisme dan juga menyerukan hal positif dengan tulisan positif sehingga membawa aura positif juga bagi rakyat Indonenesia.
Kang Pepih menghimbau agar penulis tidak saling ejek terhadap kedua pasangan calon presiden kita dan kita harus mendukung kedua kandidat (Prabowo dan Jokowi) secara baik dan benar. Narablog atau pengiat sosial media punya kesempatan untuk menviralkan sebuah kejadian.
Kenapa muncul teks "Lawan Inteleran, Radikalisme dan Terorisme" ? Kang Pepih mengatakan bahwa ketiga narasi ini lah uang akan menguasai bila kita tidak melakukannya dengan baik. Kita akan melangsungkan hajatan besar yang biasa dibilang pesta demokrasi rakyat pada tanggal 17 April 2019. Elemen bangsa harus bersatu.
Seperti kita ketahui bahwa jari-jari kita bisa bekerja dengan baik asalkan berkoneksi dengan otak dan naluri kita. Apalagi UU ITE sebagian sudah menjadikan batu sandungan bagi masyarakat yang mencoba untuk kritis dalam sebuah persoalan.
Zulfikar Akbar, sebagai mantan wartawan di salah satu media olah raga pernah ngalami kajadian yang tidak mengenakan bahkan sampai dikeluarkan dari tempat dia bekerja hanya dengan cuitannya di twitter yang mengkritisi salah seorang ulama ternama. Berbagai sudut pandang menghasilkan polemik. Yah, itulah dinamika sebuah pesan. Tersampaikan dengan kalimat dan bahasa yang berbeda-beda, menghasilkan sebuah pandangan yang jauh dari pemikiran masing-masing orang.
Eli Salomo juga angkat bicara mengenai Reformasi 98 yang kebetulan aktif bersama kawan-kawan mahasiswa dalam pergerakan 98, hal ini berkaitan sekali dengan pemilu yang akan segera berlangsung. Eli Salomo mengatakan " berbicara soal politik dan pemilu, kita pernah punya sejarah yang tidak baik. Terjadinya kerusuhan yang tidak pernah diprediksi dan terbayangkan bahwa itu terjadi."
Pada era sekarang ada ruang yang bisa dipertanggunjawabkan dan yang tidak. Beda dengan gerakan 98, mereka hadir bukan dalam kontek ruang yang kosong. Sebuah gerakan protes, dan massif karena adanya suatu mekanisme demokrasi yang tersumbat atau mati yang membuat arah Indonesia menjaid sebuah bangsa tidak jelas. Kita bicara masalah pemilu, kebebasan demokrasi, kebebasan bicara, apalagi bicara soal kebebasan berekspresi dan sebagainya, pada periode 98, kita kehilangan kebebasan-kebebasan seperti itu. Padahal kebebasan-kebebasan seperti itu adalah sebuah syarat untuk bicara soa kemajuan peradaban. Tidak ada peradaban yang maju tanpa proses yang berkontradiksi, karena proses berkontradiksi itulah yang membuat peradaban itu tumbuh dan berkembang dan semakin maju.
Diskusi antara penulis yang hadir dan narasumber semakin asyik. Mengupas berbagai persoalan yang tengah terjadi. Setelah puas berdiskusi, akhirnya Deklarasipun diikrarkan oleh semua penulis yang hadir.