Belakangan ini persoalan gas elpiji kembali mencuat ke permukaan. Mengikuti wacana yang berkembang di media arus utama menunjukkan bahwa kebijakan baru segera diberlakukan, terutama menyangkut pencabutan harga subsidi dan rencana pembenahan penyaluran gas elpiji 3 kg yang selama ini tidak sesuai peruntukannya.
Tidak sesuai peruntukannya dimaksud penulis sebagai persoalan lama yang hingga kini belum tertangani secara tuntas. Gas elpiji 3 kg (gas melon) yang jelas-jelas tertulis khusus untuk rakyat atau warga miskin tetapi dalam kenyataannya malah banyak dikonsumsi kalangan menengah ke atas.
Melihat pengalaman nyata di lapangan, ketika permintaan gas tersebut meningkat, harga cenderung membubung, maka warga miskin semakin terjepit dan sulit bisa mendapatkan kebutuhannya karena kemampuan daya belinya terbatas.
Bayangkan saja, harga eceran elpiji 3 kg yang seharusnya Rp16.000 s/d Rp 20.000 per-tabung manakala terjadi kelangkaan harganya bisa dua kali lipat, bahkan bisa lebih, dan hanya pihak-pihak tertentu yang diuntungkan dalam memanfaatkan momen tersebut.
Berapapun jumlah kuota ditambah untuk menutupi kelangkaan, tetap saja tidak mampu bahkan selalu menimbulkan masalah. Justru permainan kalangan tertentu memanfaatkan tambahan kuota untuk memetik profit sebesar-besarnya.
Kasus demikian selalu saja terjadi bahkan belum pernah ada solusi nyata. Kalaupun ada operasi pengawasan terhadap distribusi atau penyaluran gas elpiji (3 kg), terutama yang dikonsumsi kalangan mampu secara ekonomi dan operasi terhadap elpiji oplosan, ternyata dalam perjalanannya tak banyak menyelesaikan masalah.
Operasi penyalahgunaan gas elpiji 3 kg (yang dikonsumsi kalangan ekonomi mampu) sepertinya hanya merupakan langkah temporer sehingga setelahnya masih saja terjadi kasus-kasus serupa di hampir semua daerah.
Jika kemudian kasusnya hendak diusut lebih jauh, masing-masing pihak antara distributor, agen (subagen), hingga pangkalan -- semuanya berkelit untuk memperkuat alasan. Sepertinya kasus ini masuk dalam jebakan lingkaran setan.
Pemerintah daerah pun sebagai fasilitator ternyata tidak mampu mencari akar masalah untuk membenahi supaya penyaluran gas elpiji 3 kg tidak salah sasaran.
Berlarut-larutnya kasus seperti penulis paparkan di atas, agaknya pemerintah pusat saat ini mulai menaruh perhatian. Harga gas elpiji 3 kg disesuaikan dengan harga pasar, diperkirakan nantinya sekitar Rp 40.000 per-tabung, sedangkan rakyat miskin tetap mendapatkan subsidi melalui sistem tertutup.
Berita di Harian Kompas beberapa waktu lalu menyebutkan: pemerintah menyiapkan langkah menertibkan subsidi elpiji kemasan 3 kilogram mulai pertengahan tahun ini.