Sertifikasi pranikah yang besar kemungkinan akan segera diterapkan dalam setiap calon mempelai atau setiap pasangan pengantin baru masih saja menarik untuk diangkat dalam diskusi bersama.
Di lapisan akar rumput lingkungan penulis berada, wacana tersebut masih menjadi topik perbincangan, terutama dikalangan tokoh masyarakat non-formal yang mengharapkan program ini (sertifikasi pranikah) layak diapresiasi dan dioptimalkan.
Walaupun telah tersedia fasilitasi yaitu BP4 di setiap Kantor Urusan Agama (KUA), nampaknya pembekalan berupa pengayaan wawasan bagi setiap pasangan baru yang hendak menikah menjadi penting, sebagai antisipasi atau upaya preventif dalam menghadapi berbagai persoalan ketika berumah tangga, hidup dalan satu keluarga.
Seperti pernah dikatakan Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo bahwa keputusan pemerintah memperkuat konseling pranikah melalui sertifikasi diharapkan menjadi pintu masuk yang efektif mewujudkan keluarga berkualitas (Kompas, 23/11/2019, halaman 10).
Ditambahkan bahwa materi penting untuk itu sudah dipersiapakan, antara lain pentingnya imunisasi pranikah, merencanakan kehamilan sehat, menghitung masa subur, mengenali stress saat hamil, merawat anak pada 1000 hari pertama, dan lainnya berkait kehidupan berkeluarga.
Hal yang sama diungkapkan Menko PMK, Muhadjir Effendy meyakini bahwa dengan mengikuti program bimbingan pranikah atas kerjasama anatar instansi terkait, maka jumlah pasangan pengantin yang berpotensi menjadi keluarga miskin baru itu akan menjadi keluarga yang lebih berkualitas. Tidak saja mandiri secara ekonomi, tetapi mampu melahirkan generasi penerus bangsa yang berkualitas dan berdaya saing (Kedaulatan Rakyat, 11/12/2019, halaman 8).
Dari beberapa cuplikan berita diatas, dapat disimpulkan betapa pentingnya pembekalan pranikah atau belakangan ini sering disebut sertifikasi pranikah tidak lain adalah merupakan upaya konseling, bimbingan, penyuluhan atau bisa juga disebut kursus singkat yang sekaligus sebagai pemberdayaan bagi mereka agar terbangun ketahanan keluarga dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah apabila ditemui di kemudian hari.
Nah mengingat pembekalan pada hakekatnya adalah suatu kegiatan memberikan pemahaman berupa informasi, komunikasi dan edukasi kepada setiap pasangan pengantin baru, sudah barang tentu program sertifikasi pranikah yang menurut rencana dilakukan oleh masing-masing KUA -- maka sangat diperlukan kehadiran narasumber sebagai komunikator (konselor/ mentor, pembimbing, penyuluh) yang memiliki kompetensi supaya proses pembekalan berlangsung efektif.
Perlu menghindari kesan asal-asalan dan hanya sekedar formalitas, apalagi hanya bertujuan mendapatkan sertifikat yang kecenderungannya "dapat dibeli" untuk memenuhi syarat pernikahan.
Jika demikian yang terjadi, harapan membangun keluarga sehat dan berkualitas sebagai generasi penerus bangsa hanyalah sebatas angan-angan belaka, kurang memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan sumber daya manusia di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H