Pemilu Presiden-Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) pusat, provinsi, dan daerah sudah belangsung 17 April 2019 yang lalu. Prosesi pesta demokrasi yang dimulai sejak beberapa bulan sebelumnya secara umum dapat dikatakan berjalan tanpa banyak mengalami hambatan yang berarti.
Walaupun suhu politik cenderung memanas, terutama saat-saat kampanye dilakukan oleh para kontestan hingga menjelang hari H penyoblosan -- namun situasi keamanan secara nasional masih dapat dikatakan kondusif sehingga pesta demokrasi cukup greget sekaligus dapat pula dibilang sebagai dinamika seiring bidang politik yang sedang dibangun dinegeri tercinta ini.
Penyelenggaraan pemilihan umum yang dilakukan secara serentak kali ini memang beda dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Kini para pemilih dihadapkan pada 5 (lima) surat suara sekaligus untuk memilih siapa yang akan menjadi Presiden-Wakil Presiden, wakilnya di DPR, DPD, wakil rakyat di DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Jika dilihat dari segi waktu dan biaya secara keseluruhan, memang dapat dikatakan Pemilu serentak seperti diamanatkan dalam UU tentang Pemilu (UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum) dapat dikatakan lebih efisien. Namun demikian, ternyata atas dasar asumsi penghematan waktu dan biaya saja tidak cukup melegakan. Dampak yang ditimbulkannya ternyata cukup mahal bahkan nyawa manusia menjadi taruhannya.
Seperti dikutip dalam pemberitaan (Kompas,26/4/2018, halaman 3) bahwa menurut Ketua KPU Arief Budiman, hingga kemarin (25/4/2019) sebanyak 225 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dan 1.470 orang lainnya sakit. Hal itu diduga akibat faktor kelelahan.
Jumlah tersebut sangat dimungkinkan akan bertambah, mengingat perkembangan dan kondisi kesehatan manusia tidak selalu sama sehingga kita tunggu perkembangannya lebih lanjut.
Nah, itulah salah satu dampak yang kurang mengenakkan bagi kita semua. Dalam perjalanannya, ternyata sistem Pemilu serentak kali ini membawa konsekuensi terhadap proses penghitungan suara yang dilakukan secara manual. Petugas KPPS yang menjadi ujung tombak di setiap TPS secara full-time bekerja sesuai beban tugas baru yang harus dijalaninya.
Bisa dibayangkan, bahkan penulis sendiri melihat kondisi di lapangan walaupun hanya sebagai petugas Linmas kelurahan -- bahwa proses rekapitulasi surat suara pada Pemilu 2019 yang dilakukan serentak ternyata tidak semudah seperti diucapkan atau hanya tertulis dalam konsepnya.
Sebagian besar di kota Yogyakarta proses rekapitulasi/penghitungan surat suara rampung hingga usai subuh (pukul 05.00, pagi). Apabila dihitung jumlah waktu yang dilakukan dalam kegiatan tersebut bisa mencapai 20 jam lebih. Suatu pengorbanan dalam meluangkan waktu yang luar biasa demi tugas negara
Proses awal mulai mengurusi administrasi pemilih, baik pemilih setempat dan pemilih pindahan yang berasal dari tempat lain (Kartu A-5) dan urusan serupa lainnya. Semuanya harus diladeni oleh para petugas KPPS.
Rumitnya kegiatan di TPS terlihat ketika proses penghitungan suara dimulai, disamping harus cermat dan teliti dalam membuka setiap surat suara yang dicoblos, diperlihatkan kepada para saksi, kemudian diucapkan dihadapan umum, dicatat dalam notulen. Itu berlaku untuk surat suara yang masuk dan sah, lain halnya jika penyoblosannya tidak sah alias dianggap rusak, prosesnya juga harus memakan waktu, juga diperlihatkan kepada khalayak dan dilakukan pencatatan.