Lihat ke Halaman Asli

Sulistyo

Buruh Dagang

Tradisi Nyadran, Mengenang Leluhur dalam Kebersamaan

Diperbarui: 15 April 2019   18:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tradisi Nyandaran atau biasa disebut dengan Nyekar menjelang bulan Ramadhan (Dokumentasi Sulistyo)

 

Setiap menjelang ramadhan, tepatnya di bulan Sya'ban atau dalam kalender Jawa dinamakan ruwah, di dalam komunitas masyarakat Jawa ditemui salah satu tradisi yang disebut sadran. Bagi para pelakunya dapat juga disebut nyadran yaitu melakukan salah satu kegiatan yang berlangsung sekali dalam setahun sebelum puasa Ramadhan.

Nyadran merupakan sebuah prosesi dan bagian dari tradisi atau budaya yang turun temurun sejak dahulu penulis masih kecil di lingkungan leluhur sudah melakukan hal tersebut. 

Prosesi nyadran diantaranya melakukan bersih-bersih makam para sesepuh/leluhur, membuat masakan tradisional dan dibagi-bagikan (apem, dan makanan tradisional lain sejenis), disusul acara selamatan, berdo'a, dengan mengambil tempat di seputaran area pemakaman.

Belum lama ini, tepatnya hari Minggu (7/4/2019) yang lalu, penulis sejenak kembali ke kampung halaman di sebuah pedesaan (wilayah Kecamatan Salaman, Kab. Magelang) mengikuti acara tradisi nyadranan tersebut yang berlangsung meriah penuh keakraban dan persaudaraan.

Nyadran sebagai kegiatan budaya dan dilakukan oleh sejumlah komunitas yang tergabung dalam ahli waris siapa saja yang dimakamkan di lokasi pemakan tersebut. Tanpa memandang status sosial seseorang, sehingga tidak ada sekat-sekat yang membedakan satu sama lain.

Berkumpul bersama dalam suasana sederhana, pembukaan, ceramah singkat oleh panitia, berdo'a dan nyekar (tabur bunga di makan leluhur) yang selanjutnya masing-masing yang datang membawa pulang berupa satu paket oleh-oleh berupa makanan ala desa yang dibagikan oleh panitia.

Menariknya tradisi nyadran yang berlangsung setiap tahun ini bukan hanya prosesinya yang sudah berlangsung dari waktu ke waktu secara rutin yang intinya mengenang para leluhur, silsilah dalam keluarga, menghormati, dan memetik perilaku baik yang telah diajarkannya. Seperti halnya dalam pepatah Jawa yang menyebutkan, "Mikul dhuwur mendem jero" yang artinya ajaran-ajaran yang baik kita lanjutkan/junjung tinggi, yang dianggap kurang baik kita tanam-dalam atau kita tinggalkan".

Makam Simbah K Jahi Salam (Dokumentasi Sulistyo)

Di samping itu, tentunya tradisi yang masih dianut di daerah asal kampung halaman penulis (Dusun Brengkel, Salaman, Kab.Magelang) -- yaitu membawa kesan atau nilai tersendiri menyangkut berberapa aspek kehidupan kemasyarakatan, di antaranya semakin mendekatkan hubungan sesama bagi yang sudah kenal, menambah relasi baru bagi yang baru kenal, hal ini pastinya dapat dikatakan sebagai ajang untuk merekatkan hubungan sosial.

Di kampung asal penulis tersebut, kegiatan nyadran dilakukan dan dikoordinasi oleh panitia (Paguyuban Sadran Belakang Kewedanan atau PSBK). Segala kegiatan yang berlangsung didukung oleh komunitas melalui iuran sukarela/setiap ahli waris. Kini kompleks pemakaman yang dikenal dengan sebutan Makam Simbah K Jahi Salam, Salaman, Kabupaten Magelang nampak bersih, indah dan semakin tertata rapi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline