Guru kok demo? Demikian sekilas pembukaan awal obrolan bersama teman-teman penulis dalam rangka ikutan menyorot Hari Guru 2018 kemarin. Pertanyaan ini mengemuka setelah akhir Oktober atau awal November 2018 lalu para guru honorer melangsungkan demo serta tuntutan ingin diangkat menjadi pegawai negeri sipil di depan Istana Presiden, Jakarta. (Selengkapnya di sini)
Hal yang sama yaitu terjadi di Lamongan (Jawa Timur), Selasa (2/10/2018) ribuan guru katagori (K2) dan non katagori di kota ini menggelar aksi demo ingin menemui Bupati Lamongan. "Jika hari ini tuntutan kita tidak dipenuhi, kita akan melakukan mogok massal mengajar," kata Ketua Forum Honorer Sekolah Non Katagori (FHSNK), Syukran dalam orasinya. (Baca di sini)
Walaupun yang melakukan demo hanya guru honorer seperti telah diliput dan disebarluaskan media -- namun nama guru secara umum sebagai sosok yang bertugas dan berfungsi sebagai tenaga pengajar sekaligus pendidik telah ikutan mencuat menjadikan persepsi khalayak luas bahwa mereka (para guru) telah turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi/tuntutannya.
Gejala demikian semakin melengkapi bahwa demokrasi jalanan telah menjadikan trend belakangan ini. Tidak hanya kalangan mahasiswa dan ormas atau organisasi politik, buruh swasta dan LSM yang biasa melancarkan demo, tetapi di kalangan profesional bidang pendidikan pun ikutan memilih demo/unjuk rasa sebagai cara menyampaikan pendapatnya.
Pastinya fenomena tersebut dapat dipahami mengingat lembaga komunikasi sebagai saluran untuk menampung/menghimpun aspirasi pendemo kurang berfungsi. Wakil-wakil rakyat atau lembaga suatu wadah profesi tidak optimal menyerap ide/gagasan dari berbagai kelompok kepentingan yang dinaunginya. Kebuntuan saluran komunikasi inilah yang selanjutnya mendorong demo atau unjukrasa menyusul merebak dimana-mana.
Nah yang menjadi masalah kemudian, dampak dari demo atau unjukrasa itu sendiri yang perlu mendapat perhatian bersama.
Kalau yang melangsungkan demo di kalangan mahasiswa atau peserta didik di lingkungan kampus mungkin masih lumrah karena mereka hanya meninggalkan sementara proses belajarnya.
Demikian halnya jika yang berdemo kalangan swasta/LSM masih wajar mengingat mereka dapat dikategorikan sebagai pressure group dalam menyampaikan pandangan/pemikiran kritisnya. Paling banter (asalkan tidak anarkis) lokasi dimana demo itu berlangsung jalanan jadi macet sementara, setelahnya normal kembali.
Namun bilamana para guru (honorer) terhitung sejak Selasa (30/10) hingga Rabu (31/10) yang lalu melangsungkan demo di depan Istana, mereka harus meninggalkan hari kerja pelayanan pengajaran dan pendidikan -- maka para murid sebagai peserta didik menjadi terganggu karena pamongnya sedang melakukan demo.
Lebih fatal lagi demo yang dilakukan ribuan guru katagori (K2) dan non katagori di Lamongan, Rabu (26/9/2018) dan Selasa (2/10/2018), massa guru yang menggelar demo ingin menemui Bupati Lamongan, Fadeli. Bilamana tuntutannya tidak dipenuhi, mereka akan melakukan mogok massal mengajar. Wah, yang ini tentunya sedap-sedap ngeri !
Dikatakan sedap-sedap karena bisa menjadi bumbu ultimatum yang manjur. Dikatakan ngeri, bilamana memang mogok massal mengajar itu terjadi -- dampaknya para murid sekolah berkelimpungan karena proses belajarnya terhambat. Berarti pula hal ini akan mengancam keberlangsungan proses mencerdaskan anak bangsa.