Persoalan menyangkut gas elpiji 3 kg atau sering disebut gas melon nampaknya masih saja mengundang persoalan. Hal demikian mengingat masalahnya yang tidak kunjung tuntas. Terlebih ketika kebutuhan gas ini meningkat , stok elpiji justru mulai "menghilang" alias sulit didapat karena "permainan curang" pihak tertentu sehingga jatah gas/elpiji yang seharusnya diterimakan kepada masyarakat miskin -- entah kemana larinya sehingga harga jualnya membubung.
Rakyat miskin yang seharusnya dibantu dengan menikmati harga disubsidi Rp 15.500 per-tabung 3 kg akan menebusnya dengan harga lebih tinggi, bahkan bisa mencapai harga beli dua kali lipat. Para konsumen yang dikategorikan wong cilik menjadi semakin tak berdaya.
Beberapa upaya telah banyak dilakukan untuk mengatasi dan mencari solusi masalah tersebut. Misalnya pada event tertentu menjelang hari raya/lebaran atau hari besar lainnya pemerintah daerah meminta pihak Pertamina untuk menambah kuota dan disetujui.
Berdasar cermatan yang telah berlangsung dari waktu ke waktu, ternyata upaya tersebut (penambahan kuota) tidak menyelesaikan masalah. Harga gas elpiji 3 kg (walaupun kuota/pasokan ditambah untuk mengantisipasi kelangkaan) tetap saja tak terkendali, barangnyapun malah semakin susah didapatkan.
Terhadap peristiwa ini, banyak yang menyebutnya bahwa subsidi salah sasaran. Tetapi menurut penulis, sebutan tersebut sesungguhnya kurang tepat. Mengapa? Ya, karena jatah elpiji 3 kg yang seharusnya diperuntukkan rakyat miskin itu "direbut" oleh mereka yang berasal dari kalangan menengah bahkan kalangan atas.
Beralihnya hampir secara bersama di kalangan menengah dan atas untuk menggunakan gas melon/elpiji 3 kg ini sudah tentu mengganggu penerimaan jatah rakyat miskin. Akibatnya, permintaan gas melon semakin meningkat . Celah-celah inilah yang sering dimanfaatkan oleh mereka yang suka "bermain" untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Harga jual-beli gas melon selanjutnya mengikuti hukum pasar.
Berkait hal diatas, menurut Maxensius Tri Sambodo, dari Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, "tata kelola niaga subsidi elpiji tabung 3 kilogram perlu diperbaiki. Selain itu, tentukan harga elpiji berdasarkan kondisi lokal. Demikian pula pasok elpiji 5,5 kg (non subsidi) sebanyak mungkin agar masyarakat mudah mendapatkannya. Pemerintah harus menyelesaikan masalah ini secepatnya, sebab konsumsi elpiji pasti naik di tahun depan, apalagi pemerintah membuat kebijakan kapal nelayan berbahan bakar gas" (Kompas, 25/10/2017, halaman 18).
Ditambahkan, subsidi elpiji tabung 3 kg akan menjadi bom waktu jika tidak segera ditangani. Sebab dari tahun ke tahun, nilai subsidinya terus meningkat. Subsidi untuk elpiji tabung 3 kg sesuai APBN-P 2017 sebesar Rp 39,95 triliun dengan kuota volume 6,199 juta metrik ton.
Subsidi tertutup dan beri tanda tabung
Menyoal subsidi yang kini mendapat sorotan beberapa pihak berkompeten, telah pula menunjukkan bahwa permasalahan ini cukup mendapat perhatian, mudah-mudahan wacana yang mengemuka dan terus bergulir tersebut sesegera mungkin menemukan jalan terbaik demi kesejahteraan bersama.
Sebagai orang awam, penulis yang kebetulan ikut ambil bagian dalam menyalurkan gas elpiji 3 kg di tingkat pangkalan ada baiknya sekedar memberi masukan agar distribusinya berjalan proporsional. Terutama masyarakat miskin pengguna gas melon bisa memperoleh haknya dan yang tidak miskinpun dapat membeli gas elpiji 3 kg/gas melon dengan harga non-subsidi tentunya.