Bukan hanya sekedar aneh tapi ini nyata. Bahwa kasus-kasus penyelewengan anggaran (dana), penyalahgunaan wewenang, praktek pungutan liar, penyuapan, gratifikasi atau korupsi bentuk lainnya masih saja terjadi disana-sini.
Tidak hanya di kalangan birokrasi, pejabat publikpun yang duduk di kursi jabatan beserta jaringannya (eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pejabat swasta) -- tidak sedikit terjerat kasus memalukan yang dinamakan tindak pidana korupsi.
Jumlah kasus korupsi dari tahun ke tahun selalu ditemui. Penuntutan perkara korupsi dilingkungan kejaksaan dilaporkam sejak 2013 telah lebih dari 2000 perkara. Jumlah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga terus bertambah. Tahun 2014 dan 2015 KPK melakukan lima kali OTT. Pada tahun 2016 ada 17 kali dan tahun ini hingga September 2017 sudah ada 16 OTT (Harian Kompas, 25 September 2017, hal.1).
Ini cukup memberikan gambaran bahwa operasi pemberantasan korupsi yang semakin gencar dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) -- tidak serta merta mampu membendung atau setidaknya menjadikan seseorang (oknum) dan konco-konconya menjadi takut untuk melakukan perbuatan tercela tersebut.
Lemahnya pengawasan dan kurang transparannya pengelolaan anggaran menjadi penyebab umum, disamping sebab-sebab lain yang terkait pertaruhan moralitas melatarbelakangi tindakan kurang terpuji sehingga korupsi masih merajalela, baik di pusat maupun di daerah.
Saking banyaknya kasus korupsi seolah tak pernah henti, merata/menyebar di hampir seluruh wilayah negeri dan telah diberitakan media, telah pula mendorong munculnya berbagai tanggapan. Baik dalam bentuk ekspresi intelektual di kalangan akademisi hingga unjuk rasa mendatangi lembaga berkait penanganan tindak pidana korupsi.
Sangat logis pastinya, sebab rakyat sudah jenuh dan geram hampir setiap hari dijejali berita-berita penggerogotan duit yang dilakukan oleh para "tikus-tikus berdasi" sehingga anggaran negara, yang notabene uang rakyat ditilep untuk memenuhi kepentingan mereka dan komplotannya.
Reaksi dari kalangan rakyat biasa dan kalangan inteketual yang tidak berambisi menduduki jabatan penting ini layak didengar, ditampung dan menjadikan bahan masukan sekaligus menggugah penegak hukum terutama KPK untuk terus bergerak memburu para pelaku korupsi.
Menghilangkan sama sekali penyakit kronis yang dinamakan korupsi di negeri ini sepertinya memang tidak mudah. Walaupun demikian upaya mencegah dan penanganan korupsi harus dilakukan demi supremasi hukum, agar pelakunya jera dan kasus serupa tidak menjalar kemana-mana.
Mencari sebab musabab korupsi yang sangat kompleks dan solusinya masih perlu terus dikaji, diteliti melalui pendekatan-pendekatan yang terukur maupun sosial budaya sehingga paling tidak ke depannya akan meminimalisir jumlah kasus korupsi . Fokus dan lokus seputaran para pejabat dan para pemangku kepentingan (stakeholders) terkait penggunaan anggaran negara layak diprioritaskan.
Hipokrit atau munafik