Di tengah maraknya aktivitas perekonomian yang serba modern ditandai gemerlapnya gedung dan fasilitas yang serba megah, ternyata giat dan geliat usaha mikro yang dilakukan "rakat kecil" atau wong cilik masih ditemui disana-sini.
Usaha-usaha praktis yang hanya membutuhkan tenaga terampil seperti warung kelontong, kuliner pinggir jalan/kaki lima, bengkel kendaraan bermotor, jasa angkutan, reparasi, dan usaha-usaha lain sejenis yang bermodal terbatas dan semuanya itu dapat dikategorikan sebagai usaha di sektor informal.
Tentu saja usaha sektor informal ini layak mendapat perhatian, mengingat apa yang dilakukan oleh para bos kecil tersebut merupakan suatu usaha mandiri, produktif dan mampu menciptakan lapangan kerja, yang pastinya mengurangi angka pengangguran.
Keberadaan usaha yang juga dapat disebut ekonomi kerakyatan ini sesungguhnya tidak terlalu rumit untuk dapat dikatakan berhasil meraih keuntungan. Banyak atau tidaknya konsumen yang membutuhkan atau berkunjung menjadikan kunci bahwa usaha ini akan tetap berkelanjutan.
Walaupun usaha-usaha yang dilakukan wong cilik ini tidak memasang iklan besar-besaran di media massa, namun para konsumen sudah bisa memilih mana yang cocok dikunjungi sehingga secara alamiah sekaligus naluriah terseleksi dengan sendirinya. Manakala sebuah usaha memberikan kualitas dan pelayanan yang memuaskan maka iklan dari mulut ke mulut menyebar sehingga konsumen tidak sedikit berdatangan di kemudian hari.
Pernah terlihat nyata dari amatan penulis di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), bahwa seorang pejabat daerah dan beberapa koleganya di malam hari asyik menikmati kuliner (angkringan) di pinggir jalan. Warung tenda yang menyediakan makanan ringan atau kudapan ini menjadi pilihan untuk berbincang-bincang santai disertai canda ringan. Sambil menikmati wedang kopi jahe panasnya mereka berbagi informasi hingga larut malam.
Demikian halnya, seorang teman yang memiliki usaha bengkel sederhana -- ternyata pelanggannya tidak hanya dari kalangan umum, malahan konsumen yang datang juga para elit. Hal yang sama juga dapat dilihat bahwa setiap pagi tidak sedikit penjual sayur dan kebutuhan rumah tangga berkeliling menjajakan dagangannya, lumayan laris manis. Ini menandakan bahwa ekonomi kerakyatan masih eksis ditengah gegap gempitanya pasar modern (mall, supermarket, hypermarket) yang kini terus bertumbuh di kota-kota besar.
Menikmati usaha rakyat kelas bawah (wong cilik) ternyata asyik lho. Disamping harganya terjangkau, mudah, murah, meriah, proses transaksi manual praktis, juga pembeli/konsumen tidak harus menyandang pakaian formal. Antara penjual dan pembeli, pembeli dengan pembeli lain boleh berbincang bebas dalam suasana yang familier.
Barangkali giat ekonomi di sektor informal demikian layak untuk disambut dan diapresiasi kehadirannya. Usaha yang bernuansa kerakyatan ini merupakan langkah kreatif sebagai upaya mandiri, membantu pemerintah dalam rangka pemerataan kesejahteraan sekaligus mendorong rakyat untuk produktif dan tentunya tidak menambah jumlah pengangguran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H