[caption id="attachment_214163" align="aligncenter" width="570" caption="sumber : Majalah Tempo"][/caption]Julukan itu diberikan Bung Karno untuk Tan Malaka. Pahlawan Nasional yang hidupnya penuh ironi, setidaknya menurutku. Tokoh besar yang terlupakan begitu saja atau lebih tepatnya sengaja dibuat terlupakan. Kalau di Amerika Latin mempunyai Che Guevara, maka Indonesia mempunyai Tan Malaka. Ia hidup dalam pelarian di 11 negara.
Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajah dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer, dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin. Ia diburu polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Tapi ironinya, dia justru ditembak mati oleh tentara Indonesia. Setelah sebelumnya pernah dipenjarakan oleh Soekarno 2,5 tahun tanpa proses peradilan.
Ketika mulai membaca kisah tentang Tan Malaka, ada rasa tidak terima kenapa ada tokoh sebesar itu yang tidak diajarkan di pelajaran sejarah, namanya terlupakan bahkan tidak dikenal. Ternyata jawabannya sederhana, karena Tan Malaka ada di pihak kalah. Tan Malaka sering dihubungkan dengan komunis, karena dia adalah pembesar di Partai Komunis Indonesia (PKI) bahkan anggota Komintern (Komunis Internasional), sedangkan komunis adalah musuh besar Orde Baru. Semua hal yang berbau komunis harus terhapus dari bumi Indonesia dan juga sejarah. Padahal pada perkembangannya, Tan Malaka pun akhirnya keluar dari PKI karena sudah tidak sejalan dengan prinsipnya. Dia menganggap PKI terlalu dekat dengan kekuasaan, baginya perjuangan adalah milik kaum proletar bukan para borjuis.
Tan Malaka adalah revolusionaris tanpa mengenal kompromi, radikal dan memegang teguh prinsipnya. Mungkin hal inilah yang membuat dirinya selalu tersingkir dalam lingkaran perjuangan yang sering melakukan kompromi. Yang dia inginkan adalah kemerdekaan Indonesia, sedangkan komunisme dengan PKI hanyalah salah satu jalan untuk menuju ke sana.
Ketika jalan yang dilalui sudah melenceng dari harapannya, maka dia memilih jalan lain. Banyak peran penting Tan Malaka , baik secara langsung maupun tidak langsung untuk kemerdekaan Indonesia. Dia telah menggagas berdirinya Republik Indonesia pada tahun 1922 dengan buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Besama dengan buku lainnya, Massa Actie telah menjadi buku pegangan dan menginspirasi kaum pemuda pergerakan, termasuk Bung Karno. Pemuda Soekarni, salah satu pemuda yang menggagas kemerdekaan Indonesia tanpa pemberian Jepang lewat PPKI adalah anak pikir dari Tan Malaka.
Tan Malaka dengan nama samaran Ilyas Hussein ikut berdiskusi tentang betapa pentingnya pengumuman kemerdekaan harus segera dilakukan, tanpa Soekarni tau bahwa orang yang sedang berdiskusi dengan dia adalah Tan Malaka yang buku-bukunya sering dibaca. “Kemerdekaan harus direbut kaum pemuda, jangan sebagai hadiah,” inilah salah satu hal yang menggerakkan Soerkarni dan pemuda-pemuda lainnya akhirnya menculik Soekarno-Hatta agar sesegera mungkin mengumumkan kemerdekaan Indonesia.
Dan yang lagi-lagi ironi, Tan Malaka justru tidak turut hadir di Jalan Pegangsaan 56 untuk ikut menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Dia baru tau bahwa Indonesia telah merdeka beberapa hari setelahnya. “Rupanya sejarah proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah tidak mempedulikan penjelasan seorang manusia atau segolongan manusia”, ucapnya. Tan Malaka berteman dekat dengan Jenderal Soedirman, oleh Adam Malik disebut sebagai Dwi Tunggal sama seperti Soekarno-Hatta. Sedikit banyak mereka berdua mempunyai kesamaan pandangan tentang kemerdekaan. Bagi mereka berdua, kemerdekaan harus seratus persen dan berunding berarti kemerdekaan kurang dari seratus persen.
Pemikiran ini juga yang membuat Jenderal Soedirman memilih jalan gerilya dibanding berdiplomasi ketika Agresi Belanda II. Walaupun pada akhirnya pertemanan mereka merenggang, karena Jenderal Soedirman menganggap Tan Malaka terlalu menekan pemerintahan Soekarno. Tan Malaka juga membuat karya yang ditujukan untuk perubahan pola pikir masyarakat Indonesia untuk menjalani hidup sebagai orang merdeka. Hampir sama dengan apa yang dipikirkan oleh Bung Karno, dengan istilah menghapus mental inlander.
Menghapus mental inlander lebih kepada bagaimana mengubah pola pikir dari manusia terjajah yang terampas hak-haknya menjadi manusia merdeka yang mempunyai hak dan kewajiban. Tan Malaka telah mempersiapkan semua itu dengan bukunya Madilog (Materialisme-Dialektika-Logika), dimana judul asli sebelum diganti adalah Undang Kaum Proletar Berpikir. Tan melihat bahwa pola pikir bangsa Indonesia, Hindia Belanda sebelumnya masih banyak berpikir secara mistika. Beberapa contoh di atas barulah sedikit sebagian dari alas an kenapa Tan Malaka layak dikenal dan dikenang sebagai pahlawan besar yang dipunyai Indonesia.
Masih banyak lagi yang lain yang belum terungkap dari sosok Tan Malaka. Sosok yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk kemerdekaan Indonesia, yang melewatkan 20 tahun hidupnya dalam pelarian, yang tidak mempunyai kehidupan pribadi (baca : keluarga), yang tersingkir dari teman-temannya karena keradikalan dan tanpa mengenal kompromi. Tan Malaka adalah seorang Marxis yang mempunyai jiwa nasionalisme kuat. Seorang yang keras, teguh, kuat seperti besi yang sulit untuk dibengkokkan.
Paragraf penutup paling bagus tentang Tan Malaka adalah dari Goenawan Mohamad seperti dalam artikel di Koran Tempo edisi kemerdekaan Agustus 2008. Revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna.